Pemprov NTT Diadukan ke Presiden Jokowi Terkait Penguasaan Lahan Besipae

  • Bagikan
Ketua Masyarkat Hukum Adat dan Budaya Amanuban, Smarthenryk Nope bersama Istri //Foto : delegasi.com (Dok.Pribadi)

JAKARTA, DELEGASI.COM –Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT diadukan kepada Presiden RI, Joko Widodo alias Jokowi oleh Persekutuan Masyarakat Hukum Adat dan Budaya Amanuban, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT terkait tindakan Pejabat Pemprov NTT yang mengambil alih tanah adat Besipae, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten TTS.

Surat dengan Nomor 05/PMHA&B/VIII/2020 itu ditandatangani oleh Ketua Masyarkat Hukum Adat dan Budaya Amanuban, Smarthenryk Nope S.H, tertanggal 34 Agustus 2020.

Baca Juga : Broker Forex Terbaik Yang Resmi di Rilis BAPPEBTI 2023

Surat yang diterima media ini memuat 9 poin penting untuk meluruskan segala permasalahan yang ada di Besipae, yakni :

 

1. Bahwa kerajaan Amanuban bersama kerajaan lainnya di Timor adalah kerajaan yang merdeka dan bebas dari penjajahan Belanda dan baru mengalami penjajahan setelah kekalahan dalam perang Niki-Niki tahun 1910. Tahun 1912, raja Amanuban Noni Nope/ Noni Nuban menandatangani Korteverklaring Zelfbestuur. Sedangkan kerajaan Sonbai Besar takluk kepada Belanda tahun 1906, Kerajaan Amanatun tahun 1908 dan Kerajaan Wewiku Wehale.
Bapak Presiden dapat membacanya dalam buku karya Dr. I Gde Parimartha berjudul “Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915”. Juga dapat diketahui berdasarkan makalah Dosen Universitas Indonesia, Didik Pradjoko, S.S, M.Hum dan sumber-sumber sejarah lainnya;

2. Bahwa dalam menjalankan pemerintahan kerajaan Amanuban, raja Amanuban dibantu oleh pejabat yang disebut Fetor dan Fetor tersebut dibantu oleh Temukung. Untuk obyektifitas pengamatan kita bersama dan bukan dari pendapat pribadi kami, maka dapat dikutip dari Dr. I Gde Parimartha yang mendasarkan pada laporan J.D. Kruseman yang menulis laporannya di tahun 1836 berjudul “Beschrijving van Timor en eenige naburige eilanden”, De Osterling 2:1-41;
Dalam tulisan itu dijalaskan bahwa sistim pemerintahan raja-raja Timor sebagai berikut : “Dalam hubungan antara atasan dan bawahan, Kruseman antara lain menyebutkan, seorang raja di sini dibantu pejabat-pejabat (rijksbestierders), yang menggunakan titel Fetor.

Di bawah Fetor masih ada petugas bertitel Temukung yang mengepalai wilayah tingkat desa (kampung). Temukung membawahi sekitar 10-50 keluarga di wilayahnya, dan tugasnya mengumpulkan pajak, mengerahkan tenaga untuk kepentingan raja atau fetornya.
Hukuman dijalankan langsung oleh raja atau Fetor tanpa ada lembaga atau orang-orang penasehat. Menunjukan bahwa kekuasaan masih lebih bertumpu pada penguasa tertinggi.
Namun penting adanya pembantu raja serupa kelompok prajurit, disebut –orang brani-, atau Meo. Setiap raja memiliki orang-orang semacam itu, yang dapat bertindak sebagai pelopor perang, dan biasanya berasal dari orang-orang yang ada hubungan darah dengan raja. Pembantu-pembantu bawahan raja memandang pusat sebagai sumber asal usul dan sakral”.

Dari uraian Kruseman ini, maka jelas bagi kita tentang struktur pemerintahan adat di Timor termasuk Amanuban. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedudukan pihak-pihak yang menyerahkan tanah Besipae tanggal 21 Agustus 2020 itu dalam hukum Adat Amanuban, tidak berhak untuk menyerahkan tanah tersebut karena mereka adalah keturunan Temukung, bahkan di bawah Fetor.

Sehingga muncul pertanyaan kami, apa maksud tersembunyi dibalik upaya pejabat Pemprov NTT dengan memutar balikan hukum adat Amanuban? Padahal Negara Republik ini juga merupakan hasil dari perjuangan raja-raja se-Indonesia termasuk kerajaan Amanuban?;

 

3. Bahwa semenjak tahun 1910 ketika Amanuban dan kerajaan-kerajaan di Timor tunduk kepada Belanda tidak pernah disebutkan dalam catatan sejarah, pemerintah Kolonial Belanda pernah merampas secara paksa tanah-tanah masyarakat. Bahkan sampai sekarang masih tercatat, bahwa Amanuban adalah kerajaan yang dihormati hukum-hukum ulayatnya. Itulah sebabnya di Amanuban tidak ada tanah Eigendom.
Namun dalam kasus Pubabu ini, Amanuban sebagai bagian dari Republik Indonesia malah hak-hak kami diabaikan dan dilalaikan. Lalu kemana kami harus mencari keadilan? Padahal dikatakan kita telah merdeka. Lalu Pemprov NTT mau membuktikan bahwa Republik Indonesia ini apa di mata masyarakat Timor?;

4. Bahwa pejabat Pemprov NTT membangun opini dan mengadu domba masyarakat adat. Yang sangat mengecewakan kami adalah tindakan para pejabat Pemprov ini telah merusak tatanan budaya dan adat istiadat serta perdababan masyarakat Timor. Kalau keturunan Temukung jadi raja lalu keturunan Fetor dan raja jadi apa?;

5. Perlu kami jelaskan bahwa Besipae dahulu merupakan KIO (Hutan Adat) dalam hukum adat Amanuban sejak dahulu bernama “Pubabu”. Ketika tahun 1982, dengan pemanfaatan Kio Pubabu ini, maka terjadi rekonsiliasi antara Meo Besi dan Meo Pae maka diusulkan agar dinamai Besipae;

6. Status tanah di Besipae/ Pubabu ini dahulu dipakai kontrak oleh pengusaha Australia ternyata telah disertifikat oleh Pemprov NTT dengan status Hak Pakai (Copy sertifikat terlampir), namun ada salah pengertian dari pihak Pemprov tentang status hak pakai tersebut walaupun telah kami jelaskan berdasarkan klausul-klausul dalam Undang-undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960;

7. Bahwa dalam banyak kesempatan yang disiarkan secara langsung maupun tidak langsung oleh Media bahwa Pemprov beranggapan bahwa Besipae telah disertifikat sehingga masyarakat adat tidak memiliki hak lagi atas tanah adat tersebut.

Namun uniknya tanggal 21Agustus 2020 kemarin, Pemprov NTT menginisiasi pernyataan penyerahan Hak untuk tanah yang sama lagi. Sehingga menjadi pertanyaan bagi kami bagaimana tanah sudah bersertifikat lalu dibuat penyerahan hak lagi?;

Penyerahan kemarin tanggal 21 Agustus 2020 tersebut untuk menyerahkan tanah Besipae yang mana? Apakah para pejabat Pemprov tidak sadar bahwa dengan penyerahan hak tanggal 21 Agustus 2020 kemarin bukankah status tanah seperti dari seseorang yang dari level Menteri turun ke level Camat? Mohon Bapak Presiden memberikan arahan dan diklat Tata Praja yang logis bagi pejabat-pejabat Pemprov tersebut sehingga tidak bertindak dengan cara-cara yang tidak logis.

8. Bahwa tentang Hak status tanah Besipae sebagaimana telah kami uraikan dalam surat kami kepada Pemprov NTT tanggal 7 Agustus 2020 dan telah kami lampirkan dalam surat ini sehingga Bapak Presiden dapat mempelajari secara cermat;

 

9. Dalam piagam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous peoples), tanggal 7-9-2007 dalam pasal 26 disebutkan Pemerintah wajib memberikan pengakuan dan perlindungan untuk :

a. Masyarakat adat berhak atas tanah, wilayah dan sumber daya yang mereka miliki secara tradisional;

b. Masyarakat adat berhak untuk memiliki, menggunakan, mengembangkan dan mengawasi tanah, wilayah termasuk kelautan yang mereka miliki dengan alasan kepemilikan tradisional atau pendudukan tradisional lainnya;

c. Negara patut memberikan pengakuan dan perlindungan hukum atas tanah, wilayah dan sumber daya ini. Pengakuan seperti ini akan dilakukan dengan menghargai adat,tradisi, dan sistem pemanfaatan tanah dari masyarakat adat terkait;

Oleh karena itu, Masyarakat hukum adat dan budaya Amanuban memohon kepada Presiden selaku pucuk pimpinan di Indonesia untuk menindak tegas para pejabat Pemprov NTT yang menurut kami telah di luar batas normal kewajaran dan logika.

Karena itu, Masyarakat Hukum Adat dan Budaya Amanuban meminta kepada Presiden Jojowi untuk menyampaikan secara tegas kepada Gubernur NTT dan jajarannya untuk melakukan hal-hal sebagai berikut :

1. Menghormati adat dan budaya serta hukum adat yang masih hidup dalam masyarakat Timor;

2. Berhenti membangun narasi dengan ucapan-ucapan rasil yang dapat membenturkan masyarakat Timor;

3. Berhenti membangun narasi yang mengacaukan tatanan sistim budaya dan struktur dalam saluran tradisional yang memutarbalikkan fakta-fakta sejarah tentang kedudukan Temukung sehingga membingungkan masyarakat umum. Yang jelas, Temukung bukan Raja.

4. Menghentikan segala tindakan yang terindikasi represif terhadap masyarakat adat karena akan mencoreng nama baik pemerintah Republik Indonesia dimata masyarakat adat;

5. Menjunjung harkat dan martabat Pemerintah Republik Indonesia yang Berbhineka Tunggal Ika.
Surat tersebut ditembuskan kepada Perwakilan PBB di Jakarta, Mendagri, Komnas HAM, Gubernur NTT, Ketua DPRD NTT, Para Keturunan Raja-Raja se-Daratan Timor, Para Keturunan Fetor-Fetor se-Amanuban, Para Keturunan Nai, Oof dan Meo Naek se-Amanuban dan Pers.

 

//delegasi(*/tim)

Komentar ANDA?

  • Bagikan