JAKARTA, DELEGASI.COM – Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Melchias Markus Mekeng mengatakan pemerintah daerah tak boleh berdiam diri untuk mencari bantuan dana ke pemerintah pusat. Menurut dia, pembangunan di daerah tak hanya cukup dengan mengandalkan APBN.
Demikian dikatakan Mekeng dalam sebuah webminar bertema “Pengarusutamaan Masyarakat Lokal dalam Pembangunan dengan Spirit Kebhinekaan”, pada Sabtu (12/9/2020).
Webminar ini diinisiasi warga Maumere, Nusa Tenggara Timur di Jakarta (KBM Jaya), diikuti sekitar 300-an diaspora Maumere di seluruh Indonesia, termasuk di luar negeri.
“Kalau kita hanya mengandalkan DAK (dana alokasi khusus), daerah itu tidak akan maju. Harus ada intervensi dari pusat,” kata Melchias
Mekeng menjelaskan optimalnya pembangunan di daerah sangat tergantung komunikasi pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Untuk mendapatkan dana dari pusat di luar APBN, perlu “intervensi” berupa pelibatan wakil-wakil dari daerah di pemerintah pusat.
Pemerintah daerah kata Mekeng harus menjemput bola untuk mendapatkan anggaran dari pusat. Salah satu faktor penyebab mandeknya pembangunan di daerah selama ini adalah kurangnya komunikasi daerah dengan pusat.
“Kalau di antara kita satu saat ada yang jadi bupati, tolong harus memiliki komunikasi dengan baik. Tidak ada lagi calo-calo yang berkeliaran mencari anggaran, lebih baik pakai jalur yang benar,” jelasnya.
Sebagai anggota legislatif dari Nusa Tenggara Timur (NTT), Melchias mengaku sudah membantu daerahnya untuk mendapatkan anggaran dari pusat.
Salah satunya ialah mempertemukan Wakil Gubernur NTT Josef Nai Soi dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu lalu.
“Saya membawa Yosef Nai Soi ke Ibu Sri Mulyani, NTT diberikan Rp350 miliar. Itu karena komunikasi yang baik antara daerah dengan pusat,” katanya.
“Kantor saya selalu terbuka. Bukan saya yang ke daerah, nanti dituding macam-macam lagi kalau kami cari-cari proyek,” imbuh Melchias.
Sosiolog dari Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Katolik Ledalero (STFTK), Pastor Hubert Thomas, SVD mengatakan masyarakat harus menjadi pusat dalam urusan pembangunan.
Kenyataannya, kata Pastor Hubert, kondisi ekonomi di NTT, termasuk Maumere mengalami ketimpangan luar biasa.
Hubert mengatakan, berdasarkan pendapatan per kapita, Maumere masuk dalam daftar daerah termiksin di Indonesia.
“Kita tidak pernah maju-maju, mulai dari bupati yang satu ke bupati yang lain. Termasuk Bupati Longginus (Alex Longginus, mantan bupati Sikka periode 2003-2008) yang ada di dalam kegiatan ini, dan termasuk bupati yang sekarang (Fransiskus Roberto Diogo), sama saja,” jelas Hubert Hubert dalam webminar yang sama.
Menurut Pastor Hubert, penurunan angka kemiskinan Kabupaten Sikka stagnan, berkisar di 13-14 persen sejak tahun 2005 hingga 2018. Dia sendiri ragu, Bupati Fransiskus Roberto Diogo mampu merealisasikan janji politiknya untuk angka kemiskinan sebesar 7 persen.
“Kalau 14 persen dari tahun itu (2018) sampai 3 tahun lagi dia berkuasa, kita harap itu sampai di dekat 7 persen. Nah, sekarang dia tiga tahun lagi (memimpin), kita nanti lihat apakah bisa atau tidak. Dan patut dipertanyakan, strategi seperti apa yang bisa turunkan cepat dalam tempo 5 tahun,” katanya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng mengatkan ada 3 ukuran bahagia masyarakat dalam konteks ekonomi, yakni kesehatan, pendidikan dan daya beli.
“Ukuran bahagia itu, lihat saja kantong makin tebal tidak, otak makin cerdas tidak, badan makin sehat tidak,” kata Endi Jaweng.
Menurut dia, mewujudkan masyarakat Sikka yang bahagia merupakan salah satu janji politik Bupati Sikka dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPMJD). Kata Endi Jaweng, janji politik itu perlu ditagih untuk melihat apakah ada perubahan selama Bupati Fransiskus menjabat dalam lima tahun terakhir.
“RPJMD itu bukan sekedar dokumen teknografik, dia adalah dokumen politik yang bisa ditagih nanti 2023. Sederhana saja nanti untuk ditagih, apakah masyarakat Sikka sudah bahagia dari 5 tahun sebelumnya,” kata Endi Jaweng.
Senada dengan Pastor Hubert, Endi Jaweng sepakat masyarakat harus menjadi pusat pembangunan di daerah. Selama ini, perubahan sentralisasi ke desentralisasi cenderung mandek di pemerintah daerah. Masyarakat tetap menjadi penonton dalam pembangunan daerah.
“Harusnya otonomi itu otonomi masyarakat, sehingga pemda harus merumuskan ulang apa yang harus dia lakukan,” kata Endi.
Endi menambahkan, dalam konteks otonomi daerah, seluruh elemen masyarakat harus dilibatkan dalam penyusunan RPJMD.
“Pertanyaan soal otonomi masyarakat adalah, apakah dalam penyusuan empat siklus manajemen pembangunan sejak perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan monitor pembangunanan, sungguh masyarakat dilibatkan tidak?,” kata Endi Jaweng.
//delegasi(hermen jawa)