Belajar dari Peristiwa Wisatawan yang Digigit Komodo Saat Berburu Foto

  • Bagikan
gigitan
Komodo (Varanus komodoensis) hidup liar di Pulau Rinca, Jumat (10/6/2016). Populasi komodo di Pulau Rinca yang merupakan bagian dari Taman Nasional Komodo sekitar 2.800 ekor.(KOMPAS/RADITYA HELABUMI)
Jakarta, Delegasi.com – Peristiwa komodo menggigit seorang wisatawan sekaligus fotografer asal Singapura, Loh Lee Aik (68) terjadi di Desa Komodo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Rabu (3/5/2017).

Lee digigit komodo ketika tengah mendokumentasikan momen komodo tengah memakan bangkai kambing pegunungan sekitar 200 meter dari arah Pustu Desa Komodo.

Ia berjalan tanpa didampingi ranger atau warga masyarakat saat melakukan pengambilan gambar.

Baca Juga : Broker Forex Terbaik Yang Resmi di Rilis BAPPEBTI 2023

“Setelah sampai di lokasi kejadian, korban (Loh) melihat seekor komodo sedang memangsa seekor kambing, sehingga korban pun berusaha untuk mengabadikan momen tersebut. Namun korban tidak tahu ada seekor komodo kecil yang berada di sekitar korban yang kemudian langsung menggigit betis kaki bagian kiri hingga mengalami luka robek,” kata Kepala Bidang Humas Polda NTT AKBP Jules Abraham Abast, Rabu (4/5/2017) malam.

Deretan rumah panggung di Desa Komodo, kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT.(KOMPAS/AGUS SUSANTO)
Peristiwa berburu foto dan berujung kecelakaan tersebut tentu tak diinginkan. Lalu, bagaimana cara mencegah terjadinya peristiwa tersebut dan pelajaran apa yang bisa diambil?Fotografer sekaligus penulis buku “Pada Suatu Foto”, Reynold Sumayku mengatakan saat berburu foto di alam bebas seperti di Pulau Komodo lebih baik didampingi oleh petugas atau warga setempat yang menguasai wilayah tempat berburu foto.

Menurutnya, petugas atau warga setempat akan menjaga wisatawan atau fotografer dari serangan hewan.

“Dengan pemandu itu wajib bahkan satwa yang gak berbahaya. Gak mungkin kita lebih paham dari orang lokal, jagawana. Riset perilaku hewan seperti komodo itu juga penting. Belajar dari kasus yang terjadi. Riset itu jadi pedoman (berburu foto). Juga jadi pengendalian diri kita saat memotret,” ujar Reynold saat dihubungi KompasTravel, Kamis (4/5/2017).

Menurutnya, riset yang bisa dilakukan seperti mengetahui perilaku hewan yang menjadi obyek foto dan cara komodo berburu. Menurutnya, riset berguna untuk mengetahui peraturan-peraturan yang diperbolehkan di tempat berburu foto.

Ranger atau jagawana di TN Komodo memberikan penjelasan kepada wisatawan yang tiba di Pulau Rinca, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (10/5/2014)(KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA)

“Hal yang penting lain itu disiplin. Kalau di alam gak disiplin, ada banyak bahaya. Lihat perilakunya komodo di sana. Jangan melakukan hal yang tak boleh di sana. Kalau motret komodo itu gak boleh sendiri,” jelas mantan editor foto Majalah National Geographic Indonesia itu.Reynold mengatakan pengendalian diri saat memotret sangatlah penting. Hasrat untuk mendapatkan foto terbaik tanpa pengendalian diri itu akan berbahaya.

“Kalau kita melihat foto itu suka lupa prosesnya. Itu foto bagus prosesnya sulit. Kita lihat gambar bagus tanpa lihat proses, ketika itu maka akan bahaya,” ujar laki-laki yang juga anggota Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI) itu.

Menurut Reynold, biasanya foto-foto bagus juga biasa didapatkan dengan bantuan orang lokal atau peneliti. Ia memberikan pengecualian bagi yang memotret sekaligus ahli.

“Itu biasanya terjadi di National Geographic. Fotografer sekaligus ahli seperti biologi. Kalau itu turis lebih baik ditemani,” tambahnya.//delegasi(*kompas.com)

Komentar ANDA?

  • Bagikan