KUPANG, DELEGASI.COM – Gubernur Nusa Tenggara Timur, Viktor Bungtilu Laiskodat harus paham substansi menanggapi sikap Pendapat Akhir Fraksi Demokrat Solidaritas Pembangun (Fraksi DSP).
Sebab dalam pendapat akhir fraksi itu tidak ditemukan unsur kecurigaan terhadap Gubernur. Justru isi Pendapat Akhir itu sangat konstruktif terhadap kinerja Pemprov NTT.
Demikian benang merah pendapat dua pengurus DPRD Partai Demokrat NTT, Ferdinadus Leu dan Frans Kape yang dimintai komentarnya terkait reaksi marah dan ancaman langkah hukum oleh Gubenur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat terhadap Fraksi DSP pasca mendengar tanggapan akhir Fraksi tersebut di sidang Paripurna DPRD Provinsi NTT (8/7/2020) yang menurutnya menuding jajaran Pemprov NTT melakukan tindakan korupsi.
“Saya sudah membaca kata Akhir Fraksi. Disitu tidak ditemukan unsur kecurigaan terhadap Gubernur. Justru isi Kata Akhir itu sangat konstruktif terhadap Kinerja Pemprov NTT,” kata Frans Kape, Ketua Bapilu DPD Partai Demokrat NTT.
Sementara itu, Sekretaris DPD partai Demokrat NTt, Ferdinand Leu mengungkapkan bahwa sebagai pimpinan salah satu partai yang menaungi Fraksi Demokrat-Solidaritas-Pembangunan DPRD NTT, mereka ikut bertanggungjawab terhadap pendapat Fraksi DSP.
“Karena substansinya kami bahas juga di partai sebagai induk semang Fraksi. Malah pada tgl 5 Juli lalu kami panggil 4 anggota Fraksi dari Demokrat utk bersama Ketua DPD PD NTT membahas masalah2 krusial yg kita hadapi, termasuk masalah kinerja PT Flobamor,” tulisnya lebih lanjut melalui pesan WhatsApp.
Ferdinand Leu mengakui, “kami tahu Pak Gub terus bekerja keras siang malam tanpa lelah untuk membangun daerah kita (NTT, red), dan kami sepenuhnya mendukung semua itu,” tandasnya.
Tetapi menurut Ferdinand, cara Fraksi DSP mendukung Pemprov NTT tidak hanya dengan memuji-muji Gubenur Laiskodat, tetapi juga melaui kritikan terhadap hal-hal yang dinilai kurang.
“Cara kami mendukung memang tidak hanya dengan puja-puji saja. Mengritik hal-hal yang masih kurang juga bagi kami merupakan ekspresi dukungan,” tagasnya.
Ferdinand pun membeberkan hasil pencermatannya terhadap Pendapat Akhir Fraksi DSP. Ia melihat adanya banyak hal (kinerja Pemprov NTT, red) yang diapresiasi Fraksi DSP melalui PAF-DSP Sidang Paripurna tersebut.
Diantaranya misalnya kinerja pengelolaan keuangan Pemprov NTT yang mendapat opini WTP dari BPK.
Fraksi DSP juga mengapresiasi realisasi dan penyerapan APBD yangg tinggi.
“Jadi saya nilai Fraksi DSP cukup objektif. Tidak hanya hantam membabi buta,” ujarnya.
Dalam pandangan saya selaku salah satu pimpinan partai (sebagai Sekretaris DPD Partai Demokrat NTT, red), lanjut Ferdinand Leu, Gubernur Laiskodat seharusnya mengapresiasi Fraksi DSP yang mau menyampaikan kekurangan-kekurangan Pemprov NTT.
“Termasuk ketidakberesan yang kami sinyalir dilakukan anak buah beliau di jajaran birokrasi,” ungkapnya.
Bagi Ferdinandus Leu dan Frans Kape, kemarahan Gubenur Laiskodat seharusnya atau tepatnya dialamatkan ke jajarannya. Fraksi DSP sama sekali tidak menuduh atau memvonis Pemprov NTT melakukan tindakan korupsi.
“Kalau saya cermati PA yg mereka susun, sama sekali tidak menuduh atau menuding, tetapi mensinyalir, menengarai, menduga. Tidak vonis,” tulisnya lebih lanjut.
Dengan demikian, Sekretaris DPD Partai Demokrat NTT itu meminta semua pihak membaca dan mencermati substansi Pendapat Akhir Fraksi (PAF) DSP.
“Saya harap Pak Gub jangan cepat telinga panaslah. Terimalah PA F-DSP itu sebagai cubitan mesra tanda rasa sayang,” pintanya.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya oleh tim media ini pada Rabu sore (8/7/2020) Gubernur Laiskodat Marah terkait Pendapat Akhir Fraksi Demokrat Solidaritas Pembangunan DPRD NTT, yang menurutnya menuding Pemprov NTT melakukan korupsi .
Gubernur Viktor Laiskodat mendesak Fraksi Demokrat Solidaritas, Pembangunan DPRD NTT untuk membuktikan oknum siapa yang melakukan korupsi di jajaran pemerintahan Provinsi NTT. “Khusus dalam pemerintahan saya, jika ada yang korupsi, tunjuk di muka saya, jangan baca di podium ini, lalu tidak ada nama orang itu, kasih ke saya. Kalau dalam satu minggu ini tidak sebutkan nama, saya akan pertimbangkan untuk mengambil langah hukum,” tantangnya.
Rapat Paripurna itu dipimpin oleh Ketua DPRD Provinsi NTT, Ir. Emiliana J. Nomleni didampingi Wakil Ketua, Dr. Inche Sayuna, Christ Mboeik, dan Aloisius Ladi dengan agenda penyampaian pendapat akhir Fraksi atas laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD Provinsi NTT tahun 2019.
Gubernur Laiskodat menegaskan, jika dalam pemerintahannya diketahui ada aparat yang bermain-main maka akan ditindak tegas. Asalkan dugaan yang disampaikan itu benar-benar didukung dengan bukti yang akurat dan tidak memakai asumsi. “Jangan pakai asumsi dan menduga duga. Saya minta saudara Sekda NTT untuk mempersiapkan langah-langah lain, jika tidak disebutkan siapa orangnya. Saya minta semua yang ada dalam forum ini, jika ada dugaan dimana-mana ada yang main proyek, maka perlu dievaluasi apalagi ada penyuapan seperti yang disampaikan tadi,” ujarnya.
Gubernur Laiskodat menegaskan tidak boleh dalam semangat kebersamaan, lalu mengeluarkan tuduhan tanpa ada bukti. “Sebagai seorang politisi saya menyadari hal itu. Dan saya berdiri hari ini, saya tidak akan pernah korupsi. Saya datang untuk membangun NTT. Jadi jika ada aparatur yang melakukan korupsi, silahkan bawa namanya, saya akan pecat sekarang. Kalau mau cari uang, saya tidak datang di NTT. Saya datang untuk membangun Provinsi ini,” tegasnya dan seketika suasana di ruang sidang utama DPRD NTT itu menjadi hening.
Melalui juru bicara Fraksi Demokrat Solidaritas Pembangunan DPRD Provinsi NTT, dr. Christian Widodo, menyoroti realisasi belanja langsung yang hanya mencapai 85,52 persen, belanja barang dan jasa hanya mencapai 88,59 persen dan belanja modal hanya 80,37 persen. “Kami mendesak Pemerintah lebih serius merealisasikan belanja barang dan jasa serta belanja modal karena indikator output maupun outcome-nya bersentuhan langsung dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat,” sebut Christian.
Dikatakan, berulang kali Pemerintah berdalih rendahnya realisasi belanja barang dan jasa serta belanja modal disebabkan karena keterlambatan pihak ketiga menyelesaikan pekerjaan. Sebagai solusinya, Pemerintah berulang kali sesumbar tanpa beban bahwa akan mempercepat tahap penandatanganan kontrak pekerjaan-pekerjaan konstruksi di awal tahun anggaran.
“Tetapi faktanya, realisasi belanja barang dan jasa serta belanja modal selalu di bawah 90% sehingga terpaksa dilanjutkan ke tahun anggaran berikut melalui mekanisme DPAL (Dokumen Pelaksana Anggaran Lanjutan). Sulit dibantah pula fakta bahwa keterlambatan pihak ketiga menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan konstruksi juga disebabkan karena yang bersangkutan memenangkan (dimenangkan) beberapa pekerjaan sekaligus yang melampaui kemampuannya. Kami meminta Pemerintah benar-benar memperhatikan dan mencermati apek kemampuan pihak ketiga dalam penentuan pemenang pekerjaan-pekerjaan pemerintah,” ujar politisi Partai Solidaritas Indonesia ini.
Fraksi Demokrat, Solidaritas, Pembangunan juga menyoroti dana SILPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran, red) yang cukup besar, yang mencapai Rp 282,629 M lebih (2018: Rp.212,794 M lebih). “Silpa ini sesungguhnya menggambarkan kekurangcermatan dalam perencanaan dan pelaksanaan yang berujung kegagalan realisasi sejumlah item Belanja Daerah, terutama dari sisi belanja langsung maupun belanja modal,” ujarnya.
//delegasi(*/tim)