Fantastis, Debitur Bank NTT Terancam 26,5 Tahun Penjara

  • Bagikan
Tim Kuasa Hukum Stefanus Sulaiman sedang dikerumuni wartawan usai sidang pembacaan tutuntan JPU, Kamis(12/11/2020)
Tim Kuasa Hukum Yohanes Sulayman sedang dikerumuni wartawan usai sidang pembacaan tutuntan JPU, Kamis(12/11/2020)//Foto: delegasi.com

KUPANG, DELEGASI.COM – Fantastis! Debitur Bank NTT, Yohanes Sulayman (YS) yang didakwa dengan Undang-Undang Tipikor terancam pidana penjara selama 26,5 tahun penjara. Ancaman pidana penjara itu disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang dengan agenda pembacaan tuntutan JPU pada Kamis (12/11/20) malam tadi di Pengadilan Tipikor Klas IA Kupang.

Tim Kuasa Hukum Stefanus Sulaiman sedang dikerumuni wartawan usai sidang pembacaan tutuntan JPU, Kamis(12/11/2020)

 

Baca Juga : Broker Forex Terbaik Yang Resmi di Rilis BAPPEBTI 2023

Seperti yang disaksikan dan didengar oleh tim media ini, dalam tuntutan Tim JPU yang dibacakan Hendrik Tiip, menuntut terdakwa, Yohanes Sulayman dengan pidana penjara selama 16 tahun, denda sebesar Rp 1 Milyar subsider/hukuman pengganti 6 bulan (jika tidak membayar denda tersebut, red); dan membayar ganti rugi/kerugian negara sekitar Rp 33 Milyar subsider 10 tahun penjara.

Menanggapi hal itu, Tim Kuasa Hukum terdakwa, Dr. Melkianus Ndaomanu, SH, M.Hum, Cindra Adiano, SH, MH, CLA dan Nurmawan Wahyudi, SH, MH dari Kantor Hukum Amos H.Z. Taka & Associates yang dimintai tanggapannya atas tuntutan tersebut mengatakan, tuntutan tersebut sangat fantastis dan baru pernah terjadi di NTT.

“Bagi saya, kita hormati tugas dari jaksa untuk melakukan penuntutan, tapi dengan tuntutan yang tinggi tanpa didasari oleh fakta persidangan menjadi hal yang kami pertanyakan. Kalau dilihat dari total hukuman 26,5 tahun (tuntutan 16 tahun penjara, subsider 6 bulan dan subsider 10 tahun penjara, red). Ini sangat fantastis sekali,” tandas Dr. Melkianus Ndaomanu, SH, M.Hum.

Menurut Melki, yang perlu dipertimbangkan adalah implikasi dari tuntutan tersebut bagi masyarakat. “Ya mungkin perlu dipertimbangkan kembali implikasi dari tuntutan ini bagi masyarakat NTT. Mungkin akan menjadi rasa kuatir atau takut kalau meminjam uang/kredit di bank yang memang dalam tanda petik, selama kredit itu diancam dengan pidana Tipikor,” ungkapnya.

Ia menilai terjadi kekeliruan jika jaksa berpendapat bahwa dengan proses hukum terhadap debitur akan mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada Bank NTT. “Tapi justru sebaliknya, dengan proses hukum ini dengan tuntutan hukum yang tinggi, masyarakat malah akan takut untuk kredit di bank NTT. Karena berawal dengan perjanjian kredit, berakhir dipenjara atau Tipikor. Tapi prinsipnya kita tetap menghormati tugas dari jaksa untuk menuntut,” tandas Ndaomanu.
Sementara itu, Anggota Tim Kuasa Hukum, Chindra Adiano, SH, MH, CLA mengaku kecewa karena tuntutan jaksa tidak sesuai dengan fakta persidangan yang sebenarnya. “Apa yang disampaikan Jaksa, terbalik dengan fakta persidangan. Jaksa tidak memandang fakta yang sebenarnya terjadi dalam persidangan,” ujarnya.

Menurutnya, semua saksi dari bank dalam sidang mengatakan bahwa tidak ada masalah dalam kredit Yohanes Sulayman. “Dari semua debitur yang ditahan, hanya Yohanes Sulayman yang tidak ada masalah dalam pengajuan krareditnya.

Tapi mengapa dia justru dituntut paling tinggi? Kami menggunakan pakaian hitam-hitam ini ada artinya. Kami sedang berkabung untuk kematian hukum dan keadilan di NTT,” kritik Chindra.
Hal senada juga dikemukan Kuasa Hukum, Nurmawan Wahyudi, SH, MH. Menurutnya, menuntut terdakwa adalah hak JPU yang patut dihormati.

“Membela itu juga hak kami yang diberikan UU. Akan tetapi sesuai pengalaman, baru sekarang kami alami bahwa dalam tuntutan itu ada hal-hal yang meringankan dan memberatkan terdakwa. Seharusnya ada klausul-klausulnya (pertimbangan yang memberatkan dan yang meringankan,” ungkapnya.
Tapi dalam tuntutan JPU tadi tidak ada pertimbangan yang meringankan terdaksa Yohanes Sulayman.

“Dikatakan, hal-hal yang meringankan tidak ada. Beliau kan punya anak dan isteri. Apakah itu bukan pertimbangan yang meringankan. Lalu hal-hal yang memberatkan, terdakwa angkuh. Ini juga hal yang baru bagi kami dan luar biasa. Dituntut penjara 16 tahun, denda Rp 1 Milyar subsider 6 bulan, uang pengganti Rp 33 M subsider 10 tahun. Ini luar biasa,” kritiknya.

Nurmawan membantah kalau aset kliennya yang dijadikan agunan, nilainya hanya sekitar Rp 16 Milyar (seperti dalam tuntutan JPU, red). “Kalau teman-teman bertanya, benar tidak nilai agunan jauh sekali dibawah nilai kredit. Saya mau sampaikan bahwa fakta persidangan bahwa sebelum pengajuan kredit sudah ada penilaian dari Apraisal. Kalau perhitungannya berbeda itu karena perhitungan untuk agunan nilainya beda dengan perhitungan untuk lelang,” jelasnya.

Sesuai fakta persidanga, saksi yang memiliki kompetensi untuk menghitung memang mengatakan, nilai aset bisa turun 50 persen lebih rendah jika akan dilelang. “Jadi artinya biar masyarakat menilai sendiri. Tadi ada statement bahwa masyarakat takut, apakah tidak terbalik logika hukumnya? Dengan diproses klien kami, ini justru membuat masyarakat takut, kan begitu? Jadi kami akan siapkan pembelaan secara baik, benar dan berdasarkan fakta hukum dan kemanusiaan tentunya,” tandasnya.

Pada akhir wawancara, Tim Kuasa Hukum Yohanes Sulayman mengatakan, pihaknya yakin bahwa Majelis Hakim akan memutus perkara itu dengan seadil-adilnya.

“Kami masih yakin bahwa Majelis Hakim yang dipimpin Dju Johnson Mira Manggi dengan anggota Ali Mutharom dan Ari Wibowo akan bijak dan arif dalam memandang masalah hukum ini karena beliau-beliau juga melihat fakta hukum dalam sidang ini yang sebenarnya. Kalau tuntutan jaksa 16 tahun, ya beliau-beliau punya sedikit gambaran, mengapa 16 tahun. Kami yakin,” ungkap Nurmawan.

//delegasi (/tim)

Komentar ANDA?

  • Bagikan