KUPANG, DELEGASI.COM – Lodok yaitu istilah dalam bahasa lokal (Manggarai) yang artinya adalah sistem pembagian sawah atau kebun (lahan).
Sistem ini dilaksanakan secara berpusat. Filosofinya mengikuti format sarang laba-laba, dimana lodok, unsur yang kecil di bagian dalam (tengah) dan keluarnya kian lama semakin berbentuk lebar.
Jika dilihat dari kejauhan maka tampak seperti jaring laba laba. Dan itu terlihat jelas pada area persawahan (Spider Rice Field).
Menurut salah satu tokoh Manggarai di Kupang, Dr. Marius Ardu Jelamu, saat ini istilah lodok, terdapat di daerah di Kampung Cancar, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur yang pembagian lahannya berbentuk jaring laba-laba.
“Model sistem ini akan kita temui hanya di daerah Manggarai Raya, yang meliputi daerah Manggarai, daerah Manggarai Barat, dan daerah Manggarai Timur). Sehingga, dengan demikian layak dikategorikan sebagai pesawahan unik di Asia Pasifik oleh Lonely Planet, buku panduan perjalanan terbesar di dunia,” kata Marius yang juga adalah Kepala Biro Humas Setda Provinsi NTT yang ditemui di Kupang, Jumat (/74/2020) lalu.
Sistem ini menurut Mantan Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif NTT ini dilaksankan secara terpusat, dimana titik nolnya terletak di tengah-tengah lahan ulayat yang bakal dibagi-bagi.
Polanya dengan unik garis panjang dari titik tengah yang dalam bahasa Manggarai dinamakan lodok sampai ke bidang terluar atau cicing.
“Filosofinya mengikuti format sarang laba-laba, dimana lodok, unsur yang kecil di bagian dalam (tengah) dan keluarnya kian lama semakin berbentuk lebar,” jelasnya.
Kewenangan membagi tanah komunal terdapat pada Tu’a Teno (ketua adat), awalnya pembagiannya dilaksanakan melalui ritual adat Tente atau menancapkan kayu teno di titik episentrum lodok.
Saat darah kambing tercurah diatas kayu teno, menandakan pembagian lahan tersebut telah sah secara adat
“Sawah format lodok, cuman satu-satunya di dunia, dan menjadi keunikan atau kebiasaan masyarakat Manggarai yang perlu dijaga kelestarianya,” pesan Jelamu.
Tu’a Teno atau ketua adat dan Tu’a Golo atau tua dusun umumnya bakal mendapatkan bagian paling luas sawah/kebun lebih besar.
Konon pembagian tanah ulayat mengekor rumus moso (jari tangan) dicocokkan dengan jumlah penerima tanah warisan dan keturunannya.
Sesuai formula Smoso, pembagian tanah diprioritaskan untuk petinggi dusun beserta keluarganya, yang lalu diikuti warga biasa dari penduduk suku, baru setelahnya dari penduduk luar.
Secara adat penduduk luar pun dapat mempunyai lahan sawah dengan memintanya ke Tu’a Golo atau tetua kampung. Caranya dengan membawa seekor ayam jantan dan arak atau Kapu Manuk Lele Tuak dan diabsahkan melalui sidang dewan dusun yang di pimpin Tu’a Golo yang diabsahkan oleh Tu’a Teno.
Sistem Lodok
Secara sederhanyanya, lodok dipahami sebagai pusat lingko, yaitu areal kebun ataupun sawah yang bentuknya sebuah bundaran.
Tanah yang dimiliki oleh satu perkumpulunan beberapa klan dalam satu golo yang dinamakan wa’u disebut dengan istilah Lingko.
Sedangkan Golo secara harfiah diartikan sebagai bukit, yang merujuk pada sebuah pemukiman tradisional.
Dengan demikian, lingko merupakan milik wa’u yang tinggal dalam satu golo, dan bukan milik pribadi.
Meski begitu, golo tidak terpatok untuk permukimannya di atas bukit, boleh juga menempati kaki bukit, dan diseuaikan dengan kebutuhan jauh-dekatnya sumber mata air.
Seterusnya dari atas bukit tersebutlah orang-orang akan dapat melihat garis seperti jari-jari atau jaring laba-laba yang membentang dan tampak membundar.[3] Langang adalah istilah yang ditimbulkan dari fenomena tersebut, serta merupakan sebuah pembatas atau garis jari-jari atau garis batas di antara kebun.
Sedangkan istilah cicing berarti kaki bukit atau batas luar kebun dan istilah lodok merupaka pusat lingkaran atau pusat kebun tersebut.
Dan sistem inilah yang kemudian diterapkan pula di lingko-lingko yang lainnya.
Tu’a teno adalah orang yang bertanggungjawab dalam sistem lodok serta bertugas untuk membagi lingko, tu’a teno dipilih dari tu’a panga (klan) yaitu orang yang paling tua dalam satu wa’u.
Rapat awal atau biasa disebut dengan istilah reke lodok, biasa dilaksanakan sebelum pembagian lahan, dan dalam tersebut biasanya mengagendakan kapan waktu pembagian lingko yang disebut dengan istilah reke lodok.
Rentang hari dari reke dengan hari-H pembagian lingko biasanya disebut lu’ang atau sepuluh hari.
Sedangkan Ca lu’ang adalah istilah yang berarti sepuluh hari lagi. Seterusnya, tahap berikutnya adalah rapat menentukan rembo (hak setiap pangga untuk mengambil bagian dalam lodok) yang akan ikut dalam pembagian lingko (lodok lingko).
Jika lingko-nya luas, maka semua panga akan mendapatkan bagian, namun jika lingko-nya kecil, maka mereka yang tidak akan mendapatkan bagian, seterusnya akan diberikan kesempatan pada lodok lingko bon, yaitu lingko yang tidak memiliki hubungan esensial dengan golo.[3] Dalam rapat ini pula, disepakati mengenai siapa saja yang kemuduan mengambil bagian di dalam sor moso atau acara pembagian lingko.
Dalam tahap ini biasanya setiap panga sudah tahu anggota keluarganya yang dianggap membutuhkan lahan.
Jika dalam prosesi ini ada ata long alias orang lain di luar wa’u tapi tinggalnya di golo dan berkeinginan untuk mengambil bagian dalam sor moso, maka dia dianjurkan untuk mendekati tu’a teno dan diharuskan membawa persyaratan yaitu berupa ayam dan tuak.
Tente teno merupakan sebuah cara tanda dimulainya pembagian lingko, yaitu haju teno yaitu prosesi menancapkan kayu ke lubang yang telah digali sebelumnya dan persis terletak di pusat lingko.
Dari sanalah nanti bakal ditarik garis menjari yang berbentuk lingkaran, kemudian akan menjadi sebuah batas antar kebun (langang).
Biasanya, sebutir ayam mentah akan dipegang oleh tua teno sambil mengucapkan do’a dan harapan kepada Tuhan dan nenek moyang agar diberikan rejeki, dan dilakukan sebelum kayu teno ditancapkan.
Seterusnya, telur ayam ini akan disimpan di dalam lubang tempat kayu teno tersebut ditancapkan.
Setelah lubang ditutup dengan tanah, kemudian di sekeliling teno akan ditancapkan lance koe (kayu-kayu kecil).
Pada lance tersebutlah kemudian akan diikat tali (wase), dan jumlahnya tergantung pada jumlah panga dalam satu golo, kemudian di luar lance itu akan dibuatkan langang (garis jari-jari batas antara kebun).
Ritual Adat
Masyarakat Manggarai masih melakukan berbagai macam ritual adat dalam bertani.Ritual ini merupakan tanda penghargaan kepada para leluhur, dan ritual ini dilaksanakan dari mulai pembukaan lahan hingga musim panen tiba.
Untuk masyarakat Manggarai bertani dan ritual merupakan bagian yang sulit untuk dipisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Lea lose merupkan istilah upacara saat membuka kebun di lahan yang masih baru, dan masyarakat Manggarai menganggap ritual ini snagatlah penting.
Tujuannya bukan hanya meminta berkat kepada nenek moyang, tapi juga agar dapat menghindarkan sial bagi lahan baru yang sebelumnya merupakan sebuah hutan.
Setelah itu, ritual selanjutnya adalah penebangan dan pembakaran pohon untuk dijadikan lahan pesawahan, dan kemudian dilaksanakan kembali ritual yang dinamakan ritual benco raci.
Benco raci merupakan upacara yang dilakukan sebelum menanam padi atau jagung pada lahan yang telah tersedia.
Ritual ini dilakukan sebagai bentuk permohonan berkat atas benis baru tersebut.
Ritual dilanjutkan lagi saat nemih padi atau jagung tersebut telah berumur 1-2 bulan.
Ritual ini dinamakan ritual wasa, yang dilakukan sebagai permohonan perlindungan atas benih yang telah tumbuh, agar menjadi benih-benih yang tidak diacak-acak oleh kera dan babi hutan.
Selanjutnya melakukan kembali ritual yang bernama ritual oli, yang dilakukan oleh nenek moyang suku yang disebut wura agu ceki dan ritual bertujuan untuk memohon keseburan pada seluruh tanaman.
Rital selanjutnya yaitu ritual hang latung dan hang rani.
Ritual ini dilakukan setelah sawah-sawah mereka siap panen.
Semua pemilik sawah tidak ada yang boleh mendahului panen dan harus dilaksanakan secara bersama-sama.
Setelah semua sawah dipanen, maka ritual selanjutnya adalah upacara penti, yaitu upacara tanda syukur atas apa yang didapat yaitu panen dan kehidupan selama satu tahun yang telah dilalui.
Dalam upacara penti ini, memohon pula kepada sang leluhur agar memberikan perlindungan dan keharmonisan untuk kehidupan yang akan datang.
Upacara ini biasanya diramaikan dengan pemberkatan dan atraksi budaya khas masyarakat Manggarai, tari caci misalnya.*** Dari berbagai sumber
//delegasi.com(*/hermen jawa)