KUPANG, DELEGASI.COM – Pemerintah sama sekali tidak pernah punya niat menyengsarakan warga masyarakat Besipae. Pemerintah justru menjadikan Besipae menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi masyarakat, agar masyarakat hidup sejahterah.
Demikian benang merah pernyataan resmi Pemprov NTT melalui Karo Humas dan Protol, Jelamu Ardu Marius dan Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah Setda NTT, Zet Sony Libing terkait kisruh sengketa lahan Besipae, di Kecamatan Linamnutu Kabupaten TTS saat jumpa wartawan, di Kupang, Rabu(9/8/2020).
Menurut keduanya, dari data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik, Kabupaten TTS adalah salah satu kabupaten termiskin secara ekonomi di daratan Timor.
Oleh karena itu pemprov berupaya menekan angka kemiskinan itu dengan memanfaatkan aset yang ada, salah satunya lahan di Besipae.
“Pemprov NTT punya komitmen yang kuat untuk menekan angka kemiskinan. Dan TTS adalah salah satu kabupaten yang jumlah penduduk miskin tertinggi. Untuk itu pemerintah mencoba mengubah itu, termasuk memanfatkan seluruh aset yang ada, dikelola untuk dimanfaatkan oleh masyarakat,” kata Jelamu Ardu Marius.
Jelamu bahkan menyebut jika Gubernur Viktor Laiskodat dan Wakil Gubernur Josef Nae Soi adalah orang tua dari 5 juta lebih penduduk NTT. Sebagai orang tua kata Jelamu orang tua tidak pernah berpikir untuk sengsarakan anaknya.
Pemerintah NTT dibawah kepemimpinan Viktor Laiskodat dan Josef Nae Soi kata Jelamu berusaha untuk memanfaatkan lahan Besipae seluas 3.780 hektar itu, tidak saja untuk program kelor dan Rens sapi, tetapi akan dijadikan sebagai salah satu tempat pariwisata.
“Salah satu kawasan yang bisa mendongkrak ekonomi di TTS adalah Besipae. Kita akan melihat hasilnya nanti, ketika pemerintah mengelola kawasan itu dengan baik,” kata Jelamu.
Sementara itu, Kepala Badan Pemdapatan dan Aset Daerah NTT, Zet Sony Libing membantah kalau peristiwa Besipae yang sempat menjadi viral merupakan tindakan kekerasan dan intimidasi pemerintah terhadap warga setempat.
“Pemerintah sama sekali tidak pernah menggunakan pendekatan represif atau kekerasan terhadap sengketa lahan di Besipae selama ini. Justru kami menggunakan pendekatan yang humanis terhadap sejumlah KK yang menolak untuk dipidahkan dari lokasi, ” kata Sony Libing.
Sony Libing menjelaskan prinsip pengelolaan aset pemprov adalah bagaiman aset itu dikelola untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk dijadikan aset semata.
“Lahan Besipae adalah aset yamg tertidur panjang selama ini. Saat ini kita manfaatkan untuk dikelola secara baik demi kesejahteraan masyarakat itu sendiri,” tandasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya,
Sejumlah anak dan perempuan masyarakat adat Besipae Kecamatan Amnuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menangis histeris tatkala oknum anggota Brimob melesatkan tembakan ke tanah.
Letupan tembakan dilepaskan sebagai peringatan agar masyarakat adat Besipae mengosongkan lahan tempat tinggalnya atas perintah dari Pemprov NTT.
Peristiwa tersebut terjadi pada Selasa (18/8) kemarin, atau sehari setelah Presiden Joko Widodo alias Jokowi mengenakan pakaian adat mereka yakni Timor Tengah Selatan, Provinsi NTT saat upacara pengibaran bendera dalam rangka memperingati hari kemerdekaan ke-75 Republik Indonesia, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, 17 Agustus 2020.
Berdasar video amatir yang beredar luas terlihat sejumlah oknum anggota Brimob bersama TNI dan Satpol PP Pemrov NTT berupaya mengusir dan menghancurkan rumah-rumah darurat yang didirikan masyarakat adat Besipae.
Beberapa orang yang mengenakan seragam mirip anggota Brimob di lokasi terlihat membawa senjata gas air mata dan senapan laras panjang.
“Ditembak oleh Brimob, Brimob mengeluarkan senjatanya,” ucap perempuan adat Besipae terbata-bata seraya terdengar suara tangis anak-anak.
Tak berselang lama, terlihat salah satu oknum anggota Brimob menembakkan peluru gas air mata. Tembakan tersebut dilesatkan ke arah tanah hingga selongsong gas air mata terpantul ke arah sekitar masyarakat adat Besipae yang menolak untuk meninggalkan tempat tinggal mereka.
“Tuhan tidak buta, Tuhan tidak buta, Tuhan tidak buta…,” teriak dan tangis perempuan adat Besipae.
Salah satu oknum anggota Brimob tampak berupaya untuk menutupi kamera telepon genggam milik salah satu masyarakat adat Besipae yang terus merekam aksi intimidatif oknum berseragam tersebut.
Namun, perempuan masyarakat adat tersebut terus merekam seraya berjalan mundur serta menangis histeris.
“Sudah-sudah ayo heh,” ujar salah satu oknum anggota Brimob.
“Pak bisa bikin kami begini, punya hati atau tidak? Pak punya hati atau tidak? Buat kami begini punya hati atau tidak?,” ucap salah satu perempuan masyarakat adat Besipae.
Di sudut lain, terlihat perempuan masyarakat adat Besipae bersujud di bawah tanah tempat tinggalnya untuk memohon agar tidak diusir.
“Sudah belasan tahun kami begini. Kami tersiksa. Pak punya hati atau tidak?,” ucapnya.
Nasib Masyarkat Adat Besipae
Masyarakat adat Besipae adalah komunitas masyarakat adat yang hidup dan kehidupannya telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.
Mereka berada di bawah Nabuasa atau tetua adat Raja Nope atau Raja Amnuban.
Pada tahun 1982, kabupaten Timor Tengah Selatan diadakan proyek percontohan intensifikasi Peternakan Besipae.
Atas dalih untuk mensukseskan program tersebut Gubernur NTT, Bupati Timor Tengah Selatan memberi pengarahan pada masyarakat agar menyediakan lahan di desa Oe Kam, Mio, Polo dan Linamnutu.
Akhirnya masyarakat, tua-tua adat bersedia memberikan tanahnya seluas 6000 hektar. Namun setelah diukur oleh Kanwil Pertanahan, ternyata luasnya swkitar 3.780 hektar
Pemberian tersebut dengan syarat-syarat agar rumah-rumah, kebun dan tanaman milik masyarakat setempat yang berada dalam kawasan proyek tersebut tetap dikelola oleh masyarakat.
Kontrak diadakan selama lima tahun, yakni sejak 1982 hingga 1987.
Saat berakhirnya masa kontrak, pada tahun 1987 diadakan pertemuan yang dihadiri pihak pemerintah, pihak Australia, dan masyarakat adat setempat; Pemprov NTT dan pihak Australia menyerahkan tanah tersebut kembali kepada masyarakat adat setempat.
Namun, pascakontrak kerjasama antara Pemprov NTT dan pihak Australia
pada tahun 1987 tersebut, Dinas Peternakan Kabupaten Timor Tengah Selatan menggunakan lahan bekas proyek tersebut untuk Hutan Makanan Ternak (HMT) seluas 21 hektar, di sinilah konflik bermula lahir.
Puncaknya, pada Mei 2020 lalu sejumlah perempuan masyarakat adat Besipae sampai melakukan aksi telanjang dada.
Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap Pemprov NTT yang melakukan upaya paksa terhadap masyarakat adat Besipae untuk mengosongkan lahan tempat tinggalnya.
“Aksi “telanjang dada” pada bulan Mei 2020 oleh perempuan setempat
sebagai simbol mempertahankan hak-hak adat mereka,” ungkap Akhmad Bumi tim advokasi masyarakat adat Besipae saat dihubungi wartawan, Selasa (18/8/2020) malam.
Menurut Akhmad, sejumlah oknum Satpol PP Pemrov NTT bersama Brimob dan Babinsa melakukan pengrusakan terhadap rumah-rumah darurat yang didirikan oleh masyarakat adat Besipae.
Rumah-rumah darurat berbahan rumbia itu didirikan setelah sebelumnya hunian permanen milik masyarakat adat dihancurkan.
“Rumah yang dirusak adalah milik warga, dibangun sendiri, biaya sendiri. Setelah dirusak dan dibongkar warga tidak memiliki rumah tinggal dan hidup terlantar,” ujar Akhmad.
“Tinggal di bawah pohon dan mendirikan rumah darurat. Tapi rumah darurat itu tadi pagi dibongkar lagi,” imbuhnya.
Selain perlakuan intimidatif, dua masyarakat adat Besipae, yakni Korenelius Numley (64) dan Anton Tanu (18) mendapat tindakan kriminalisasi dari aparat kepolisian setempat. Mereka ditangkap tanpa surat dan alasan yang jelas.
“Kedua warga Besipae tersebut, diambil oleh enam anggota Brimbob, satu intel polisi dan Kepala UPTD Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Timur,” katanya menambahkan.
//delegasi ( hermen jawa)