Memupuk Sikap Antisipasi Bencana

  • Bagikan
Samsuriady, Dosen Sosiologi Fisip Universitas Nusa Cendana Kupang Nusa Tenggara Timur//Foto: delegasi.com(Dok.Pribadi)
“Kasus bencana badai Seroja yang meluluhlantahkan beberapa kabupaten/kota di NTT (5 April 2021) lalu bisa dijadikan contoh bagaimana buruknya manajemen bencana di republik ini. Yang terlihat jelas di sana ialah buruknya manajeman informasi dan data bencana. Padahal, dua hal itu menjadi fokus yang pertama dan paling urgen dalam setiap penanganan bencana.”
Samsuriady

 

Warga bersama anaknya duduk di dekat truk tangki yang terguling akibat banjir bandang di Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (6/4/2021). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.

 

Baca Juga : Broker Forex Terbaik Yang Resmi di Rilis BAPPEBTI 2023

DELEGASI.COM – Secara geografis, geologis, dan klimatologis, Indonesia merupakan negeri bencana. Yang manafikan kenyataan itu sama dengan menolak posisi Indonesia yang berada dalam lingkaran bara api bencana. Negeri yang diapiti dua benua dan samudra ini rentan akan bencana alam.
Maka, jangan heran, Indonesia selalu berhadapan dengan realitas hujan, banjir, kekeringan, gunung meletus, dan ancaman badai dalam berbagai tingkatan. Gejala el nino dan la nina nyaris menghantui Indonesia setiap tahun.

Meski kenyataan demikian, manajemen bencana kita masih jauh dari sigap. Manajemen bencana kita masih gagap. Itu harus diakui terlebih dahulu. Gagap karena manusia Indonesia selalu post-factum. Kita baru menyadari urgensi mitigasi dan antisipasi bencana setelah bencana datang.

Implikasinya, ribuan jiwa menjadi korban. Banyak harta benda menjadi sasaran amukan bencana. Beragam infrastruktur hancur berantakan. Anehnya, semakin sains menjelaskan bahaya bencana di Indonesia, elemen terkait bangsa ini semakin tidur lelap. Semakin para ahli berteriak urgensi mitigasi bencana, semakin amburadul manajemen bencana. Sulit dimengerti memang. Tapi itulah kita. Itulah Indonesia.

Hal-hal seperti informasi dan data warga jauh dari memadai. Sosialisasi bencana jarang dilakukan. Harapan untuk menghadirkan mata pelajaran atau mata kuliah, khas bencana, dalam kurikulum pendidikan nasional enggan terwujud.
Apakah Indonesia kaya? Iya. Bahwa secara statistik Indonesia tergolong negara miskin yang masih berkembang, harus diakui. Tetapi sesungguhnya, Indonesia merupakan negara yang kaya raya.

Diskusi budaya antisipasi perlu diangkat terutama karena fakta kekayaan Indonesia bisa jadi menjadi merupakan alasan untuk tidak memikirkan bencana barang sejenak. Karena toh, setiap bencana, apa pun bentuk dan jenisnya, mudah diatasi karena kita memiliki banyak uang. Faktanya, kemiskinan masih merajalela. Kelaparan masih saja menganga. Tetapi, soal bencana, nanti dulu. Sampai bencana itu benar-benar ada, baru bergerak. Karut-marut merupakan kata yang tepat untuk menggambarkan manajemen bencana di negara ini.

Pemerintah Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur menyatakan ada 12 orang yang telah ditemukan meninggal dunia akibat terseret banjir dalam sedangkan tiga lainnya masih hilang. //Foto: ANTARA

Informasi dan Data

Kasus bencana badai Seroja yang meluluhlantahkan beberapa kabupaten/kota di NTT (5 April 2021) lalu bisa dijadikan contoh bagaimana buruknya manajemen bencana di republik ini. Yang terlihat jelas di sana ialah buruknya manajeman informasi dan data bencana. Padahal, dua hal itu menjadi fokus yang pertama dan paling urgen dalam setiap penanganan bencana.
Sulit dibayangkan, informasi terkait bencana di Kabupaten Kupang baru diketahui dua sampai tiga hari setelah bencana. Padahal, jarak Kabupaten Kupang dengan pusat ibu kota Provinsi NTT hanya sekira 20-an kilometer. Pemerintah provinsi NTT lebih banyak mendengar bencana di Lembata dan Flores Timur ketimbang di Kabupaten Kupang yang merupakan tetangga dekatnya. Di situ, informasi bencana menjadi penting.
Seperti informasi, data merupakan hal urgen di saat bencana. Data bisa terkait dengan karakteristik bencana, tingkat kerusakan, dan karakteristik monografi kependudukan. Pengalaman NTT baru-baru ini menjadi pelajaran penting bagi Indonesia. Kesatuan data itu mahapenting.
Dua hal itu, informasi dan data, memiliki hubungan yang sangat erat. Benar ada bencana, tetapi tanpa ada informasi terkait bencana, maka dampak bencana akan besar. Sebaliknya, sehebat apa pun manajemen informasi bencana jika tidak didukung dengan asupan data, informasi itu menjadi abal-abal.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Nusa Tenggara Timur (NTT) menyampaikan data keseluruhan korban bencana alam dampak Siklon Tropis Seroja yang melanda pada 4 April 2021. Hingga 28 April 2021, tercatat 182 orang telah meninggal dunia.//Foto: ISTIMEWA

Budaya Antisipasi

Indonesia perlu membangun budaya antisipasi. Ini penting. Sebagai salah satu negara dengan peluang terjadinya bencana cukup tinggi, naïf rasanya jika generasi bangsa ini tidak dijejali dengan informasi terkait bencana.
Perkara kesiap-siagaan memang bukan hal gampang untuk masyarakat kita. Kita tidak pernah dididik menjadi generasi antisipatif. Kita selalu dininabobokan oleh berbagai fasilitas, entah oleh keluarga, masyarakat atau negara. Bangsa ini terlampau disuguhkan dengan olahan materi cepat saji, cari gampang, dan mental enak. Semua kita wajib mengakui realitas itu.

Sejatinya, watak antisipasi mesti menjadi way of life bangsa kita. Watak antisipasi bisa terwujud jika semua elemen mau mengubah antisipasi bencana menjadi budaya antisipasi. Kita memang harus bersahabat dengan bencana. Sebab, negeri ini memang berada di pusaran bencana alam. Itu sulit ditolak dan sukar dibantah.

Budaya antisipasi dapat tumbuh jika semua elemen memiliki bayangan yang sama tentang kondisi Indonesia. Saya khawatir, berkaitan dengan bencana, setiap kita memiliki pemahaman yang berbeda-beda. Ini soal. Negara, keluarga, sekolah, pendidikan tinggi, LSM, dan elemen lain harus bahu-membahu membentuk kesatuan imajinasi keindonesiaan.

Beberapa pikiran berikut bisa dijadikan acuan dalam membentuk budaya antisipasi manusia Indonesia

Pertama, selain mitigasi bencana, kurikulum bencana kiranya wajib diberikan di semua level pendidikan di Indonesia. Kurikulum itu memuat tidak saja peta bencana secara umum tetapi prediksi bencana yang ada di masing-masing daerah. Setiap daerah di Indonesia jelas memiliki karakteristik fisik topografis. Demikian pun, setiap daerah pasti memiliki model bencana yang khas.

Kedua, setiap kepala manusia Indonesia harus ditanam pemahaman bahwa Indonesia itu rentan bencana. Materi strategi dan risiko bencana sejatinya menjadi milik setiap indivindu dan masyarakat Indonesia. Manusia Indonesia harus memiliki watak antisipatif terhadap bencana.

Ketiga, kita semua, terutama pengambil kebijakan, harus berpikir bahwa teknologi buatan manusia bisa saja hancur lebur karena bencana. Di situ, urgensi menggali model dan pola antisipasi bencana berbasis kearifan lokal masyarakat amat diperlukan. Masyarakat selalu memiliki pola adaptif ketika berhadapan dengan bencana yang ada di depan mata.

Keluarga korban bencana tanah longsor menyalakan lilin saat berziarah di areal permakaman massal di Desa Lama Nele, Kecamatan Ile Boleng, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Rabu (7/4/2021). /Foto: ISTIMEWA

 

Keempat, dalam kerangka teknologi informasi, alat-alat teknologi yang tidak berbasis jaringan digital kiranya perlu dipikirkan dan ditempatkan di semua tingkatan pemerintahan. Sulit dibayangkan, misalnya, kalau jaringan listrik dan telpon terkena dampak bencana seperti kasus Seroja di NTT awal bulan ini. Distribusi informasi menjadi macet dan proses penanganan pun membutuhkan waktu yang lama.

Indonesia itu kuat. Kekuatan Indonesia ditunjukkan dengan besarnya solidaritas anak bangsa ketika bencana datang. Berbagai bentuk bantuan datang silih berganti. Saya optimis, dalam kekuatan solidaritas itu, terbersit semangat untuk membangun budaya antisipasi bencana***

 

Penulis adalah Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang

Komentar ANDA?

  • Bagikan