NTT Tempati Prevalensi Stunting Tertingg di Indonesia.

  • Bagikan
NTT tempati Rangking tertinggi Prevalensi Stunting di Indonesia. //foto:Ilustrasi

Kupang, Delegasi.Com – Prevalensi stunting bayi berusia di bawah lima tahun (balita) di Nusa Tenggara Timur (NTT) mencapai 40,3 persen, tertinggi jika dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia. Angka tersebut di atas prevalensi stunting nasional sebesar 29,6 persen.

Prevalensi stunting di NTT terdiri dari bayi dengan kategori sangat pendek 18 persen dan pendek 22,3 persen. Demikian hasil Pantauan Status Gizi (PSG) tahun 2017 yang telah dipublikasi  melalui pos kupang.com. Hingga kini belum ada penanganan khusus terhadap balita penderita stunting.

Baca Juga : Broker Forex Terbaik Yang Resmi di Rilis BAPPEBTI 2023

Stunting erat kaitannya dengan masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu lama, umumnya karena asupan makan yang tidak sesuai kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai dari dalam kandungan dan baru terlihat saat anak berusia dua tahun.

United Nations Childrens Fund (UNICEF) mendefinisikan stunting sebagai persentase anak-anak usia 0 sampai 59 bulan, dengan tinggi di bawah minus (stunting sedang dan berat) dan minus tiga (stunting kronis) diukur dari standar pertumbuhan anak keluaran World Health Organization (WHO).

Selain pertumbuhan terhambat, stunting juga dikaitkan dengan perkembangan otak yang tidak maksimal, yang menyebabkan kemampuan mental dan belajar yang kurang, serta prestasi sekolah yang buruk. Stunting dan kondisi lain terkait kurang gizi, juga dianggap sebagai salah satu faktor risiko diabetes, hipertensi, obesitas dan kematian akibat infeksi.

Di Kota Kupang, sebanyak 233 balita mengalami stunting. Hal itu berdasarkan Laporan Bulanan Rekapitulasi Penimbangan Bayi Balita di 11 Puskesmas per September 2018.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Kupang melalui Kepala Bidang Kesehatan Keluarga, I Gusti Agung Ngurah Suarnawa menjelaskan hasil tersebut diketahui setelah pengukuran pada 1.723 balita dari sasaran target balita sebanyak 23.525 balita.

Kepala Puskesmas Oesapa, Kota Kupang, dr. Trio Hardhina mengungkapkan, stunting di wilayahnya mencapai 34 balita terhitung sejak bulan Januari-September 2018. Balita yang mengalami stunting tersebar di Kelurahan Lasiana, Kelapa Lima, Oesapa, Oesapa Barat dan Kelurahan Oesapa Selatan.

Data stunting di Kabupaten Kupang belum ada. Namun Kepala Puskesmas Camplong, Kecamatan Fatuleu, Hermenigido Soares mengungkapkan, dari data gizi buruk tahun 2017, tercatat 13 orang.

Santy Nuryanti Toy menambahkan, data gizi buruk tahun 2017 di Fatuleu tercatat 13 kasus. Walaupun penanganannya dilakukan sangat cepat dan tidak sampai kematian tapi ini menjadi persoalan serius. “Kasus gizi buruk itu imbasnya ke stunting,” kata Santy.

 

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), dr. Eirene Ina Dwika Ate melalui Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi, Rina Kusumaningrum menjelaskan, saat ini pihaknya masih melakukan survei stunting. Survei dilakukan sejak September dan ditargetkan selesai Desember 2018.

Menurutnya, balita yang sudah disurvei sebanyak 6.899 orang. Petugas mendatangi rumah ke rumah mencari balita. Rina mengatakan, pada tahun 2017, Kementerian Kesehatan melakukan survei stunting di TTS dengan menggunakan sampel 30 desa
yang tersebar di lima kecamatan.

Dari hasil survei tersebut, diketahui angka stunting untuk Kabupaten TTS mencapai 53,4 persen, lebih kecil dari tahun 2016, yakni 57,3 persen. “Kalau dari survei Kementerian Kesehatan sendiri, angka stunting di kabupaten TTS cenderung mengalami trend penurunan dari 2016 ke 2017. Walaupun penurunannya tidak signifikan, namun hal ini menunjukan adanya perubahan pola hidup dari masyarakat menuju pola hidup sehat,” ujar Rina, Kamis (1/11/2018) lalu.

Dinas Kesehatan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) juga belum memiliki data terkini tentang stunting. Pihak Dinkes hanya memiliki data penderita stunting tahun 2017.

“Kami belum memiliki data stunting. Kami sudah rapat juga supaya teman-teman dari puskesmas dapat mengumpulkan data stunting supaya kita bisa mengetahui,” kata Pengelola Gizi Dinas Kesehatan TTU, Landa Nahak.

Kepala Puskemas Maubesi, Albertus E. M. Tori mengungkapkan, sebanyak 483 balita di Kecamatan Insana Tengah, menderita stunting. Menurutnya, jumlah bayi yang menderita stunting mencapai 50 persen lebih dari total 671 bayi. “Data mengenai jumlah penderita stunting di wilayah kerja Puskesmas Maubesi sebanyak 483 bayi dari total secara keseluruhan bayi sebanyak 671 orang,” kata Albertus.

Sementara di Kabupaten Nagekeo, prevalensi stunting mencapai 39,8 persen pada tahun 2017, lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2016 yakni sebesar 38,0 persen. “Data ini diambil sampling dan diolah Kementerian Kesehatan, tidak ada rincian per kecamatan karena ada kecamatan yang tidak kena sampling,” jelas

Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Nagekeo, Rufus Raga, S.Si saat dikonfirmasi Sabtu (3/11/2018).

“Untuk penanganan khusus belum ada. Kami masih fokus di gizi buruk. Tetapi upaya pencegahannya kita dengan sosialisasi 1000 hari pertama kehidupan,” ujar Rufus.

Stunting berkembang dalam jangka panjang karena kombinasi dari beberapa faktor, di antaranya kurang gizi kronis dalam waktu lama, retardasi pertumbuhan intrauterine, tidak cukup protein dalam proporsi total asupan kalori, perubahan hormon yang dipicu oleh stres dan sering menderita infeksi di awal kehidupan seorang anak.

Perkembangan stunting adalah proses yang lambat, kumulatif dan tidak berarti bahwa asupan makanan saat ini tidak memadai. Kegagalan pertumbuhan mungkin telah terjadi di masa lalu seorang.

Adapun gejala stunting adalah anak berbadan lebih pendek untuk anak seusianya, proporsi tubuh cenderung normal tetapi anak tampak lebih muda/kecil untuk usianya, berat badan rendah untuk anak seusianya dan pertumbuhan tulang tertunda.

Kepala Bidang Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Kota Kupang, I Gusti Agung Ngurah Suarnawa, S.Km, M.Kes, mengatakan untuk mengatasi stunting, harus dari anak itu dalam kandungan dan ia mendapat asupan gizi yang cukup sampai pada usia dua tahun untuk kebutuhan perkembangan anak dan perkembangn otak anak

“Ketika saat itu zat-zat nutrisi tak terpenuhi maka bisa mempengaruhi pertumbuhan fisik dan otak anak, sehingga saat ada ibu hamil kami ingatkan untuk makan beranekaragam dan saat melahirkan nantinya harus memberikan asi eksklusif selama enam bulan dan mulai dikenalkan makanan pendamping ASI setelah dua tahun,” katanya.

Menurutnya, langkah strategis yang dilakukan pihaknya selama ini untuk menekan angka stunting dengan melakukan sosialisasi dan penyuluhan saat para ibu hamil memeriksakan kandungannya di puskesmas.

Selain itu, para ibu juga dibekali dengan buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dimana di dalam buku tersebut juga termuat pentingnya seorang ibu yang hamil memberikan asupan gizi yang cukup bagi janin dan anaknya.

“Setelah ibu itu bersalin dan memeriksakan dirinya ke posyandu atau puskesmas teman-teman gizi maupun tenaga kesehatan lainnya akan tetap memberikan penyuluhan-penyuluhan,” jelasnya.

Untuk jangka pendek, pada anak yang ditemukan mengalami stunting, lanjut Suarnawa, pihaknya memberikan tambahan gizi berupa makanan tambahan.

“Pemerintah Kota setiap tahunnya menyiapkan alokasi dana untuk bahan makanan bagi yang gizi buruk termasuk yang stunting, setiap tahun juga pemerintah pusat memberikan makanan pendamping ASI yang dibagikan ke semua daerah. Kami juga bari dapat makanan pendamping ASI yang nantinya membantu untuk perbaikan gizi dalam bentuk biskuit,” ungkapnya.

Kepala Puskesmas Oesapa, Kota Kupang, dr. Trio Hardhina mengatakan, pihaknya rutin mengadakan penyuluhan untuk menekan angka stunting. “Kami juga mengadakan Pos Penanganan Gizi khusus untuk balita yang sangat kurus atau stunting ini,” katanya.//delegasi(PK/ger)

 

Komentar ANDA?

  • Bagikan