“Karena pemberi Hak Pakai adalah masyarakat Besipae maka Dinas Peternakan NTT wajib mengembalikan lahan tersebut kepada warga setempat melalui Pemkab TTS (sebagai pihak yang menerima penyerahan 4 Amaf pada tanggal 13 April 1982, red). Selanjutnya Pemkab TTS menyerahakan kepada masyarakat Besipae,”
Gabriel Suku Kotan
KUPANG, DELEGASI.COM – Sertifikat Hak Pakai (SHP) Nomor:1/Desa Mio tahun 1986 pada lahan Instalasi Peternakan Besiapae atasnama (An) Dinas Peternakan Provinsi NTT telah Hapus alias Hilang karena telah melewati jangka waktu Hak Pakai (selama 25 tahun dan tidak dapat diperpanjang, red). Dengan demikian, secara hukum Pemprov NTT wajib mengembalikan lahan Instalasi Peternakan Besipae seluas 3.780 Ha kepada masyarakat sebagai pemilik lahan tersebut.
Demikian penilaian Praktisi Hukum NTT, Gabriel Suku Kotan yang dimintai tanggapannya terkait Sertifikat Hak Pakai (SHP) lahan Instalasi Peternakan Besipae yang telah selesai masa pakai di kediamannya, Kamis (12/6/20) sore.
Menurut mantan anggota DPRD NTT 2 periode (2009-2019) yang kembali ‘terjun’ sebagai praktisi hukum, sesuai UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Sertifikat Hak Pakai (SHP) memiliki batas waktu.
“SHP lahan Besipae telah berakhir masa pakainya selama 25 tahun pada tahun 2012. Dengan demikian, Hak Pakai Dinas Peternakan NTT terhadap lahan Instalasi Peternakan Besipae telah hapus atau hilang.
Karena itu sesuai perintah peraturan Perundang-undangan, Dinas Peternakan Provinsi NTT secara hukum wajib mengembalikan tanah Besipae itu kepada masyarakat sebagai pemilik lahan/pemberi Hak Pakai. Selain itu, Dinas Peternakan NTT wajib menyerahkan Sertifikat Hak Pakai kepada Badan Pertanahan setempat (TTS, red),” tandas Gabriel Suku Kotan yang akrab disapa GSK.
Publik NTT, kata GSK, pasti akan bertanya tentang status SHP atas nama Dinas Peternakan NTT yang dipegang oleh Pemprov NTT. “Itu kan SHP maka setelah habis masa pakai, wajib diperpanjang/diperbaharui. Kalau tidak diperpanjang/diperbaharui maka legitimasinya sudah selesai atau Hak Pakai-nya hapus atau hilang sesuai peraturan perundang-undangan,” tuturnya.
Jadi menurut GSK, ada peluang bagi masyarakat sebagai pemilik lahan untuk mengambil kembali haknya sesuai peraturan perundang-undangan.
“Menjadi beralasan jika masyarakat pemberi Hak Pakai sebagai pemilik prinsipal lahan Besipae ingin menggunakan lahan itu karena SHP tidak diperpanjang/diperbaharui,” tegas GSK.
Secara hukum, jelas GSK, sesuai Pasal 55 butir (a) PP Nomor 40 Tahun 1996, dikatakan, hapusnya Hak Pakai disebabkan oleh berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya,” katanya.
GSK memaparkan, sesuai UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok, Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberian oleh pejabat yang berwenang memberikan atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengelolaan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.
Selanjutnya, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, pada Pasal 39 butir (c), dikatakan ‘yang dapat memiliki Hak Pakai adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah’.
Dalam Pasal 41 PP Nomor 40 Tahun 1996, dikatakan bahwa tanah yang dapat diberikah Hak Pakai adalah tanah negara, tanah hak pengelolaan, dan tanah hak milik. Selanjutnya dalam Pasal 44 dikatakan, Hak Pakai atas tanah Hak Milik terjadi dengan pemberian tanah oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan wajib didaftarkan dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan.
“Selanjutnya dalam Pasal 49 dikatakan Hak Pakai atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun dan tidak dapat diperpanjang.
Namun atas kesepakatan antara pemegang Hak Pakai dengan pemegang Hak Milik, Hak Pakai atas tanah Hak Milik dapat diperbaharui dengan pemberian Hak Pakai baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan hak tersebut wajib didaftarkan (pada buku tanah, red),” jelasnya.
Dalam Pasal 50 PP Nomor 40 Tahun 1996, papar GSK, ditegaskan bahwa Pemegang Hak Pakai antara lain berkewajiban menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Pakai kepada pemberi Hak Pakai sesudah Hak Pakai tersebut hapus. “Karena pemberi Hak Pakai adalah masyarakat Besipae maka Dinas Peternakan NTT wajib mengembalikan lahan tersebut kepada warga setempat melalui Pemkab TTS (sebagai pihak yang menerima penyerahan 4 Amaf pada tanggal 13 April 1982, red). Selanjutnya Pemkab TTS menyerahakan kepada masyarakat Besipae,” tandasnya.
Selain itu, lanjut GSK, sesuai Pasal 50 tersebut di atas maka Dinas Peternakan NTT juga berkewajiban menyerahkan sertifikat Hak Pakai yang talah hapus itu kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat (BPN Kabupaten TTS, red). “Selanjutnya pada Pasal 56 butir (3) ditegaskan bahwa hapusnya Hak Pakai atas tanah Hak Milik mengakibatkan tanahnya kembali dalam penguasaan pemegang Hak Milik atau Pemberi Hak Pakai, dalam hal ini masyarakat 5 Desa yang diwakili 4 Amaf (saat penyerahan untuk dipakai dalam proyek NTT-LDP pada tanggal 13 April 1982, red),” urainya.
Hal itu, lanjut GSK, kembali dipertegas dalam Pasal 58 yang berbunyi, “Apabila Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan atau atas tanah Hak Milik hapus sebagaiaman dimaksud dalam Pasal 56, bekas pemegang Hak Pakai wajib menyerahkan tanahnya kepada pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik dan memenuhi ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik,” paparnya.
//delegasi(*/tim)