Ekbis  

Tambak Udang Supraintensif, Investasi ‘Menjanjikan’ Di NTT

Avatar photo
dinas
Tambak Udang Supraintensif DKP NTT

Kupang, Delegasi – Air laut yang bersih di kepulauan Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu potensi untuk mengembangkan tambak udang Supra Intensif. Pilot project tambak udang Supraintensif yang dikelola oleh Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) Tablolong, Dinas Kelautan dan Perikanan NTT telah menunjukkan hasil yang meggembirakan. Budidaya udang dengan pola ini merupakan investasi yang ‘menjanjikan’ keuntungan bagi pengusaha karena dari tambak seluas 400 m2, dapat menghasilkan 4-5 ton udang.

Menurut Kepala Seksi Budidaya Laut, Dinas Perikanan dan Kelautan NTT, Ernes D. Hamel, Perencanaan Program Pengembangan Budidaya Udang Supraintensif dilakukan oleh Bapak Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya dengan Bapak Prof. Dr. Ir. Rohmin Dahuri, dilanjutkan dengan Penetapan Lokasi Tambak di BBIP Tablolong oleh Bapak Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTT dengan DR. Ir. Hasanuddin Atjo, MP (penemu tambak udang supraintensif) pada tanggal 2 Januari 2014.

“Pada tahun 2013, Pak Gubernur NTT diangkat sebagai salah satu staf ahli khusus bidang ekonomi oleh Pak Rohmin Dahuri. Dalam diskusi tentang apa yang bisa dilakukan di NTT, maka Pak Rohmin mengusulkan untuk pengembangan tambak udang supraintensif. Kita semua bertanya itu apa? Karena baru ada satu saat itu di Palu,” ujar Ernes.

Kegiatan pelaksanaan Pembangunan Unit Tambak Supraintensif Provinsi NTT, paparnya, dimulai April hingga Agustus 2014 yang ditandai peletakan batu pertama oleh Bapak Wakil Gubernur NTT pada tanggal 9 Mei 2014. “Pembangunan tambak selesai pada Agustus 2014. Ujicoba operasional budidaya tambak supraintensif tahap I dilakukan pada tanggal 16 September 2014. Panen Perdana Budidaya Udang Tambak Supraintensif NTT di BBIP Tablolong oleh Gubernur NTT dilakukan pada tanggal 3 Pebruari 2014. Saat itu hasilnya belum memuaskan karena persiapannya kurang matang,” jelas Ernes.

Menurut Ernes, sebelumnya hanya kenal 3 metode dalam budidaya udang, yakni tradisional, semi intensif dan intensif. “Dikatakan supraintensif karena menggabungkan 5 pola budidaya intensif. Yang membedakan budidaya intensif dengan budidaya supraintensif antara lain, banyaknya benih/benur yang ditebar dalam metode biasa, antara 40 – 100 ekor/m2. Sedangkan dalam budidaya supraintensif, benur yang ditebar sebanyak 1.000 ekor/m2. Kita punya 2 tambak dengan ukuran 20 m x 20 m = 400 m2. Jadi benih yang ditebar sebanyak 800.000 ekor,” paparnya.

Pola pemberian makan pada budidaya udang supraintensif, lanjut Ernes, dilakukan secara intensif yakni setiap 3 jam selama 24 jam. “Pengelolaan usaha airnya juga intensif, yakni setiap 6 jam diganti. Intensif-intensif ini digabungkan menjadi supraintensif,” katanya.

Dari 800 ribu benih yang ditebar tersebut, jelas Ernes, dilakukan panen secara parsial. “Panen parsial pertama dilakukan saat umur udang 60 hari sebanyak 30 persen (2 ton). Panen parsial kedua dilakukan pada umur 75 hari sebanyak 40 persen (3 ton), dan panen total sekitar 4 ton. Jadi agregat totalnya sekitar 8-10 ton untuk dua tambak,” jelasnya.

Mengenai harga jual, kata Ernes, tergantung umur udang saat panen. Pada panen parsial pertama (umur 90 hari) dijual dengan harga sekitar Rp 55 ribu/kg (100 ekor/kg). Pada panen parsial kedua (75 hari) harganya Rp 60 ribu (75 ekor/kg), dan pada panen total (umur 90 hari) dijual dengan harga sekitar 65-70 ribu/kg (50 ekor/kg). “Jadi harganya tergantung besar udang dan harga pasar saat panen,” ujarnya.

Menurut Ernes, budidaya udang supraintensif ini sangat menjanjikan keuntungan bagi para investor yang ingin berusaha di bidang budidaya hasil laut. “Tahun lalu ada pengusaha besar dari Jawa Tengah yang mengirim orang-orangnya untuk belajar dari kita. Mereka sangat tertarik dengan budidaya udang supraintensif karena dengan tambak yang kecil (20 m x 20 m) bisa menghasilkan udang hingga 5 ton dalam 3 bulan. Dan saat ini mereka sudah kembangkan budidaya supraintensif ini secara besar-besaran di sana.//delegasi. egi/ger

Komentar ANDA?