Tradisi Tengge Kain Songke dan Tradisi Lorang Khas Flores

  • Bagikan
Sebanyak 12 Rasul yang mendapatkan tugas pada perayaan Kamis Putih di Gereja Paroki Santo Arnoldus dan Josef Waelengga, Kevikepan Borong, Keuskupan Ruteng, Kamis (18/4/2019) memakain kain tengge Songke saat ritual pembasuhan kaki oleh Pastor Eduardus Tanis, Pr. Tradisi Tengge kain songke selalu dilestarikan saat perayaan Paska di Flores Barat. //Foto: Kompas.com(Markus Makur)

Borong, Delegasi.com – Sebanyak 89 Paroki di Keuskupan Ruteng dan sejumlah Paroki di Keuskupan Agung Ende, Keuskupan Maumere dan Keuskupan Larantuka memakai kain tenun khas Flores saat perayaan Kamis Putih dan Jumat Agung.

Direalis kompas.com, tradisi Tengge dengan kain tenun songke dipakai oleh 12 Rasul yang mendapatkan tugas di Paroki Santo Arnoldus dan Josef Waelengga, Kevikepan Borong, Keuskupan Ruteng.

“Setiap tahun saat perayaan Kamis Putih, ke-12 Rasul yang mendapatkan tugas memakai Tengge (ikat kain di pinggang) dengan kain tenun songke khas Manggarai Timur. Dan juga memakai topi songke khas Manggarai Timur,” kata Ketua Dewan Pastoral Paroki Santo Arnoldus dan Josef Waelengga, Lukas Sumba, kepada Kompas.com, Kamis (18/4/2019).

Sumba menjelaskan, warisan leluhur orang Manggarai Timur sebelum mengenal celana panjang selalu memakai Tengge saat perayaan Paskah dan perayaan lainnya. Saat misionaris yang bertugas di seluruh Keuskupan Ruteng 100 lebih tahun yang lalu, para misionaris itu menjumpai umat memakai kain tenun songke dengan tradisi Tengge.

“Memakai kain tenun songke dengan Tengge dipadukan dengan baju putih dan topi songke melestarikan budaya memakai kain tenun Songke di tengah maraknya produksi celana panjang dari pabrik. Jika tidak lagi melestarikan tradisi ini maka perlahan-lahan akan luntur,” jelasnya.

Blasius Ndoi, salah satu dari 12 Rasul yang mendapatkan tugas kepada Kompas.com, Kamis, (18/4/2019) mengungkapkan salah satu tradisi yang terus dipertahankan di Paroki Santo Arnoldus dan Josef Waelengga sejak misionaris pertama bertugas di Paroki itu, Pater Armin Matierz, SVD selalu membiasakan diri bagi 12 Rasul yang mendapatkan tugas memakai kain tenun songke yang dipakai 12 Rasul.

“Ini merupakan warisan budaya yang dipertahankan dan dilestarikan di Paroki ini sesuai dengan adat istiadat setempat. Ini juga kekhasan dari umat Katolik yang memiliki tradisi Tengge. Kebiasaan ini untuk mengangkat budaya lokal di tengah pengaruh global khususnya cara berpakaian. Saya bangga dengan tradisi Tengge dengan kain tenun songke saat perayaan Kamis Putih. Ini artinya bahwa tradisi lokal tetap dilaksanakan didalam Gereja Katolik,” katanya.

Ketua Seksi Liturgi Paroki Santo Josef Freinademetz Wajur, Aloysius Angkap kepada Kompas.com, Sabtu, (20/4/2019) menjelaskan, 12 Rasul yang bertugas di Paroki itu saat perayaan Kamis Putih memakai Tengge dengan kain tenun Songke dengan kain sapu dikenakan di kepala dipadukan dengan baju putih.

“Tradisi ini untuk menghormati dan menghargai budaya Tengge di dalam diri umat Katolik serta mempromosikan keunikan kain tenun songke yang diwariskan oleh leluhur orang Manggarai Barat.Terlihat nuansa budaya dalam perayaan Kamis Putih di dalam gereja tersebut,” jelasnya.

Pastor Paroki Tritunggal Mahakudus Ranggu, Romo Patris Bollard, Pr, kepada Kompas.com menjelaskan umat Katolik Kolang memiliki kebiasaan dalam keseharian memakai Tengge Kain Tenun Songke. Jadi sejak Pastor Pertama Paroki Tritunggal Mahakudus Ranggu, Almarhum Pater Franz Mesaros, SVD bahwa ke 12 Rasul yang mendapatkan tugas selalu memakai Tengge kain tenun Songke khas orang Manggarai Raya.

“Ini sudah menjadi kebiasaan di Paroki Tritunggal Mahakudus Ranggu saat perayaan Kamis Putih. 12 Rasul memakai Tengge kain tenun Songke dengan berbagai motifnya dipadukan dengan baju putih dan topi khas kain tenun. Gereja Katolik sangat menghargai budaya setempat saat perayaan Paska dan perayaan lainnya,” katanya.

Selain memakai Tengge dengan kain tenun Songke, Lanjut Romo Patris, saat Kepok atau Torok persembahan di dalam Gereja memakai bahasa lokal dengan dialek Kolang.

 

Seorang perempuan Kampung Noa, Desa Golondoal, Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, NTT, September 2018 lalu mengalungkan kain selendang songke kepada Uskup Denpasar merangkap Administrator Apostolik Keuskupan Ruteng, Mgr. Silvester San bersama rombongannya. //Foto: Kompas.com(Markus Makur)

 

“Semua tradisi ini sangat dihormati oleh Gereja Katolik. Ini bagian dari inkulturasi dalam Gereja Katolik. Uskup Pertama Keuskupan Ruteng, almarhum Mgr Wilhelmus Van Bekkum, SVD sudah menyuarakan perayaan Inkulturasi sesuai budaya setempat saat sidang Konsilisi Vatikan kedua di Roma ribuan tahun yang lalu. Dan hasil suara kenabiannya itu maka perayaan Paskah di seluruh dunia mengikuti budaya setempat,” jelasnya.

Pastor Paroki Santo Arnoldus Janssen dan Josef Waelengga, Godfridus Sisilianus Angkur, Pr mengakui nuansa budaya dalam perayaan Kamis Putih dan Jumat Agung sesuai dengan budaya masyarakat setempat.

“Budaya Tengge dengan kain tenun songke selalu dilaksanakan saat perayaan Kamis Putih bagi 12 Rasul. Bahkan sebagian besar umat memakai Tengge kain tenun songke. Apalagi saat Jumat Agung, seluruh umat memakai kain tenun songke dipadukan dengan baju hitam sebagai tanda berkabung,” katanya.

Romo Angkur menjelaskan, tradisi Kepok saat persembahan dengan memakai dialek bahasa Rongga dan Kolor. Jadi Imam juga harus menjawab dengan dialek setempat. “Saya juga belajar bahasa Suku Rongga dan Kolor. Pastoral budaya dan bahasa lokal setempat sehingga pesan Injil dipahami dengan baik,” katanya.

Tradisi Lorang Saat Jumat Agung Umat Katolik merefleksi dan memahami kematian Tuhan Yesus Kristus dengan tradisi kematian orang Manggarai Raya. Salah satunya adalah tradisi Lorang. Lorang merupakan cara orang Manggarai Raya mengantar jenazah sambil melantunkan nyanyian-nyanyian lokal serta menangis bagi seorang keluarga, sahabat yang meninggal dunia.

 

Selendang songke khas Manggarai yang cocok dijadikan oleh-oleh.//Foto: Kompas.com(Sherly Puspita)

 

“Sebuah peti jenazah diusung oleh umat yang mendapatkan tugas sambil seorang perempuan melantunkan nyanyian lokal dan kadang-kadang ikut menangis saat Lorang tersebut. Hiasan kursi untuk menyimpan Salib dengan kain tenun Songke. Ini benar bernuansa budaya saat perayaan Kamis Putih dan Jumat Agung,” katanya.

Romo Angkur dan Patris mengatakan, 89 Paroki di Keuskupan Ruteng selalu melaksanakan tradisi Tengge kain songke dan Lorang. Bahkan, semua petugas memakai kain tenun songke.

“Ini merupakan salah satu ciri khas perayaan Paskah di Keuskupan Ruteng. Gereja Katolik sangat menghargai dan menghormati budaya setempat,” katanya.

Salah satu Imam di Keuskupan Agung Ende, Pater Markus Tuluk, SVD menjelaskan sebagian Paroki di Keuskupan Agung Ende memakai kain adat khas Ende saat perayaan Kamis Putih. Sebanyak 12 Rasul yang mendapatkan tugas sebagai 12 Rasul memakai kain tenun ikat khas Ende.

“Sebagian Paroki di Keuskupan Agung Ende memakai kain tenun ikat khas Ende oleh 12 Rasul, namun sebagiannya memakai celana panjang,” katanya. Pastor Tuluk menjelaskan, tradisi mengusung peti jenazah ke dalam gereja saat perayaan Jumat Agung sudah hilang.

“Saat saya masih kecil, saya sering lihat petugas mengusung peti jenazah ke dalam gereja saat perayaan Jumat Agung di tiap Paroki di Keuskupan Agung Ende. Namun, kini sudah hilang tradisi itu,” katanya.

Seorang ibu menenun kain songket khas Waerebo di bawah rumah panggungnya, di Desa Adat, Waerebo. Manggarai Barat, NTT, Selasa (13/11/2018).//Foto: Kompas.com(Muhammad Irzal Adikurnia)

 

Ketua Sekolah STFK Ledalero, Maumere, Otto Gusti Madung, SVD kepada Kompas.com, Sabtu, (20/4/2019) mengatakan iman umat kepada Tuhan Yesus Kristus mengungkapkan dengan budaya setempat. Seperti di Keuskupan Ruteng memiliki tradisi Tengge dan Lorang dilaksanakan saat perayaan Kamis Putih dan Jumat Agung sementara di Keuskupan lain di Pulau Flores tak lain melaksanakan perayaan dengan budaya setempat.

“Saya memimpin perayaan Paskah di Hokeng saat Kamis Putih, 12 Rasulnya tak memakai kain tenun setempat. Selain itu, saat perayaan Jumat Agung tak ada tradisi mengusung peti jenazah ke dalam gereja. Namun bagi saya, umat jangan hiruk pikuk dengan berbagai tradisi melainkan esensi dari perayaan Paskah itu yang sangat penting,” katanya.

Madung menjelaskan, Perayaan Inkulturasi saat perayaan Paskah di masing-masing Keuskupan dan Paroki sangat dihargai dan dihormati oleh Gereja Katolik. Ini menandakan bahwa iman umat kepada Tuhan Yesus diungkapkan dengan budaya setempat. Yang utama dari tradisi itu adalah Umat Katolik memahami esensi dari Perayaan Paska tersebut.

“Mungkin yang ada tradisi Lorang dan Tengge hanya ada di Keuskupan Ruteng sedangkan Keuskupan lainnya di Pulau Flores tergantung umat setempat dalam mengungkapkan esensi iman mereka kepada Tuhan Yesus Kristus,” jelasnya.

Staf Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai, Flores, NTT mengenakan jas kain tenun songke kepada Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat saat kunjungan kerjanya di Kabupaten Manggarai Timur di ruang kerja Bupati Manggarai, Rabu (9/1/2019). //Foto: Kompas.Com(Markus Makur)

 

Mantan Ketua STFK Ledalero, Pater Bernardus Raho, SVD mengemukakan umat yang memakai kain tenun songke serta dengan berbagai tradisi yang digunakan saat perayaan Paskah merupakan simbol sekaligus melestarikan budaya setempat.

“Itu semua sarana dari iman umat untuk perayaan Paskah yang bernuansa budaya,” katanya.

Promosi Kain tenun Sulam Songke Gubernur Nusa Tenggara Timur, Viktor Bungtilu Laiskodat bersama dengan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur, Josef Nai Soi sudah mengeluarkan instruksi bagi seluruh Pegawai Negeri Sipil untuk memakai kain tenun ikat dua kali seminggu.

“Saat ini seluruh Aparat Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur serta ASN di 23 Kabupaten dan Kota memakai kain tenun dua kali seminggu,” jelasnya.

Ketua PKK Provinsi Nusa Tenggara Timur, Julie Sutrisno belum lama ini menampilkan kain tenun Nusa Tenggara Timur saat pagelaran fashion show dengan pakaian adat di Jakarta.

Bahkan, belum lama ini ada pameran kain tenun seluruh Nusa Tenggara Timur di Kota Kupang. Wakil Bupati Manggarai Timur, Jaghur Stefanus belum lama ini kepada Kompas.com menjelaskan, Pemkab Manggarai Timur sudah mengeluarkan surat keputusan bagi seluruh Aparat Sipil Negara (ASN) di Manggarai Timur memakain kain tenun sulam dua kali seminggu.

Pengunjung di antara tumpukan kain songke.//Foto: Kompas(Sherly Puspita)

 

“Kita mulai dengan mempromosikan dan membiasakan para ASN untuk memakai kain tenun sulam dua kali seminggu. Kita saksikan sendiri bahwa setiap ada pejabat yang berkunjung ke kampung-kampung selalu disambut dengan pakaian adat serta mengalungkan selendang kain tenun sulam oleh masyarakat setempat,” jelasnya.

Kain Tenun sebagai Oleh-oleh Wisatawan Saat ini wisatawan asing dan Nusantara yang berkunjung ke Pulau Flores atau Pulau Sumba dan Timor selalu membeli kain tenun khas Nusa Tenggara Timur sebagai oleh-oleh untuk keluarga dan sahabatnya. Pegiat Kain tenun Ikat Sikka, Alfonsa Horeng kepada Kompas.com belum lama ini bahwa dirinya sudah mempromosikan keunikan kain tenun ikat Sikka dan kain tenun Nusa Tenggara Timur ke 45 negara. Bahkan, dirinya mempromosikan keunikan kain tenun itu kepada kedutaan asing di Indonesia.

“Beberapa tahun lalu dilakukan pameran di Kota Maumere dengan melibatkan 1000 penenun untuk menenun kain tenun Ikat Sikka. Bahkan, saya diundang oleh Gories Mere untuk mendampingi para penenun di Rumah Tenun Sa’o Pipi Tolo di Kabupeten Nagekeo,” kata Horeng. Horeng menjelaskan, minat orang asing untuk membeli kain tenun khas Nusa Tenggara Timur terus meningkat. Ini pertanda baik bagi para penenun di Nusa Tenggara Timur. “Kain tenun Nusa Tenggara Timur sebagai identitas dan peradaban orang Nusa Tenggara Timur,” tambahnya.

//delegasi(kompas/markus makur)

Komentar ANDA?

  • Bagikan