GELEKAT, Suatu Inspirasi Perilaku Politik dan Kepemimpinan dalam Budaya Lamaholot(1) Flotim

  • Bagikan
Dr.Keron A. Petrus, SE, MA (Ama Rus Keron) //Foto: Delegasi.com(Dok.Pribadi)

“Dalam budaya Lamaholot-Flores Tumur (Adonara), kata Gelekat mempunyai makna beragam sesuai situasi yang terjadi saat itu. Dalam tulisan ini disajikan beberapa makna kata Gelekat menurut konteksnya, dan tentu saja masih banyak konteks lainnya” 

Buah pikiran Ama Rus Keron

DELEGASI.COM – Berbicara mengenai politik dan budaya (kebudayaan) sebenarnya merupakan fokus kajian dari cabang ilmu antropologi, yakni Antropologi Politik. Secara sederhana Antropologi Politik mengkaji masalah politik pada aspek perilaku para aktor yang dapat dilihat dari sudut pandang kebudayaan.

Pada tataran operasional, pertanyaan yang dapat diajukan adalah: bagaimana kebudayaan (budaya) masyarakat menginspirasi perilaku politik dan kepemimpinan para aktor untuk meraih sebuah jabatan politik tertentu, misalnya Anggota Legislatif atau Kepala Daerah.

BACA JUGA: 

Mengenal Lebih Dekat Dr. Keron Petrus

Kerendahan Hati Doktor Petrus Keron

Tulisan ini tidak bermaksud menyorot budaya Lamaholot-Flores Timur (Adonara) secara holistik dalam perilaku politik dan praktik nilai-nilai kepemimpinan.

Tujuan penulisan ini lebih difokuskan untuk mengurai perilaku politik dan praktik nilai-nilai kepemimpinan berbasis budaya Lamaholot yang bersumber dari nilai-nilai ungkapan (koda) adat yang dapat menginspirasi pilihan perilaku politik dan nilai kepemimpinan para aktor.

Selain itu, melalui tulisan ini masyarakat diharapkan dapat lebih memahami perilaku dan kepemimpinan yang idealnya dijalankan para aktor politik dalam budaya Lamaholot.

Dr. Keron A. Petrus, SE, MA //Foto: Delegasi.com(Dok. pribadi

Penyajian tulisan ini akan mengulas perilaku politik dan nilai kepemimpinan yang bersumber dari tagline “GELEKAT” yang menginspirasi saya untuk mengikuti perhelatan Pemilu Kada Flores Timur 2024.

Dalam kaitan dengan topik di atas maka pertanyaannya menjadi: mengapa saya memilih “Gelekat” sebagai tagline? bagaimana “Gelekat” menginspirasi perilaku politik saya?

Bagaimana “Gelekat” mempengaruhi saya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab saya sebagai orang yang pernah memimpin di lingkungan birokrasi pemerintahan Provinsi NTT (apapun tingkatannya) selama ini dan selanjutnya?, dan bagaimana rancangan falsafah pembangunan “Gelekat” untuk mewujudkan Flores Timur Sejahtera, Inovatif dan Berbudaya menuju Kemandirian 2029.

Untuk menjawab atau mengklarifikasi empat pertanyaan tersebut di atas, tulisan ini disajikan dalam beberapa seri. Tulisan ini berisikan pengantar dan seri pertama dari keseluruhan tulisan.

Mengapa saya memilih “Gelekat” sebagai tagline?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya saya menjelaskan terlebih dahulu tentang makna Gelekat. Hal ini dimaksudkan agar kita dapat menggunakan sudut pandang yang sama dan mendiskusikannya menuju suatu pemahaman bersama.

Dalam budaya Lamaholot-Flores Tumur (Adonara), kata Gelekat mempunyai makna beragam sesuai situasi yang terjadi saat itu.

Dalam tulisan ini disajikan beberapa makna kata Gelekat menurut konteksnya, dan tentu saja masih banyak konteks lainnya.

Dalam konteks saling membantu, gelekat diartikan sebagai suatu kegiatan/tindakan membantu orang lain. Contoh, seseorang memberikan bantuan kepada seseorang yang mengalami kesulitan, kedukaan dan atau menyelenggarakan suatu hajatan/acara besar (misalnya, pernikahan);

Dalam konteks tugas dan tanggung jawab yang diemban seseorang, gelekat dapat diartikan sebagai suatu tindakan mengabdi atau berbakti. Contoh, seorang PNS bekerja pada instansi pemerintah maka ia dapat menyebut dirinya berbakti kepada Negara;

Dalam konteks fasilitasi, gelekat artinya suatu kegiatan/tindakan untuk menjembatani (penghubung) di antara para pihak. Contoh, fasilitasi penyelesaian konflik maka fasilitator (mediator) berperan menjadi jembatan untuk menemukan sumber konflik dan mengajak para pihak untuk menyelesaikannya;

Dalam konteks eksistensi (keberadaan) diri, gelekat diartikan sebagai suatu tindakan untuk membangun dan atau menguatkan keberadaan diri dalam suatu komunitas tertentu. Contoh, memberikan sumbangan baik dalam bentuk materi maupun gagasan, pendapat untuk mendukung terlaksananya kegiatan tertentu di wilayah, desa tempat asalnya.

Berdasarkan beberapa makna di atas, saya menyimpulkan bahwa Gelekat, sesungguhnya bermakna melayani.

Melayani dipahami sebagai suatu tindakan yang disadari untuk memberi pertolongan kepada orang lain dengan tulus iklas, kesungguhan hati, peduli tanpa merasa terbebani, tanpa pamrih dan tidak mencari sensasi (pujian).

Memberikan atau melayani tanpa mengharapkan sesuatu sebagai imbalan karena dirinya sebagai pelayan (nuda kelekat) bagi orang lain.

Mengacu pada pemahaman demikian maka Gelekat mensyaratkan Diri menjadi Titik Pijak dalam melayani.

Karena itu, Gelekat dalam praktiknya, mengisyaratkan pentingnya mengenal “diri” yang akan menjadi titik pijak atau ukuran dari tindakan Gelekat.

Bagaimana tindakan “Gelekat” yang kita lakukan bagi orang lain?

Dalam melakukan aktivitas melayani akan terjadi interaksi dengan orang lain (yang dilayani). Idealnya, dalam interaksi tersebut dapat menghasilkan sebuah tingkat kepuasaan tertentu sesuai kebutuhan yang dikehendaki.

Dr. Keron A. Petrus, SE, MA //Foto: Felegasi.com (Dok. Pribadi)

Dan, kepuasan tersebut hanya bisa didapatkan jika yang melayani (pelayan) melakukannya dengan tulus, tanpa pamrih, jauh dari perhitungan untung-rugi.

Untuk mencapai itu, sebagai pelayan harus dapat menjauhkan kepentingan-kepentingan pribadi (diri). Dengan kata lain sebagai individu, diri pribadi sudah sampai pada tahapan “selesai dengan diri sendiri”.

Artinya, harus lebih mengutamakan kepentingan dan kebutuhan masyarakat yang dilayani.

Gelekat dalam konteks ini, bagi saya dapat diletakkan dalam posisi sebagai sebuah idiologi, bukan hanya sebagai sebuah strategi dari tindakan melayani.

Sebagai sebuah Idiologi, Gelekat akan menginspirasi lahirnya sebuah kesadaran untuk menemukan keutamaan dalam diri (nulu walen) seseorang sebagai dasar bertindak.

Nulu walen (karakter) yang dimaksud ialah nulu walen melan senareng (karakter baik) yang menjadi dasar dalam tindakan melayani.

Proses kesadaran ini akan terus bertumbuh melalui pembelajaran terhadap setiap tantangan atau beragamnya kebutuhan masyarakat.

Dengan demikian, kualitas diri untuk melayani dari waktu ke waktu akan terus mengalami pembaharuan.

Berbeda dengan Gelekat sebagai strategi. Sebagai strategi tindakan melayani maka apa yang dilakukan seseorang lebih cenderung memenuhi tuntutan, misalnya tuntutan tugas.

Contoh, kita temukan di ruang pelayanan publik. Petugas dituntut untuk memberikan pelayanan dengan ramah, sopan, penuh senyuman untuk menarik pelanggan.

Selain itu, petugas diharapkan melayani tanpa diskriminatif, berlaku adil, dan dapat memberikan kepastian serta kenyamanan.

Namun sikap tersebut belum sungguh-sungguh terpatri dalam dirinya sebagai nulu walen.

Selepas bertugas, petugas cenderung kembali pada perilaku aslinya, misalnya kaku, cuek, dstnya setelah melaksanakan tugasnya.

Karena itu, masyarakat sering merasa tidak puas terhadap semua jenis pelayanan publik yang diberikan.

Dalam keadaan seperti ini terlihat bahwa ruang bertumbuh melalui proses pembelajaran tidak terjadi pada diri petugas untuk mengembangkan nulu walen yang dimiliki dalam melakukan tindakan melayani.

Mengakhiri tulisan seri ini, saya kembali menegaskan bahwa Gelekat bagi saya merupakan sebuah idiologi politik berbasis budaya Lamaholot-Flores Timur.

Gelekat telah menginspirasi dan memberi saya ruang bertumbuh sebagai pelayan dalam setiap tugas yang saya emban.

Intinya, semuanya beranjak dari diri sebagai titik pijak untuk melakukan suatu tindakan melayani demi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Komitmen ini pula telah mendorong saya untuk terus belajar terhadap setiap situasi lapangan agar tindakan melayani yang saya lakukan, paling tidak mendekati harapan-harapan masyarakat.

Penjelasan ini merupakan jawaban terhadap pertanyaan mengapa saya memilih Gelekat sebagai tagline ketika memutuskan untuk mengikuti perhelatan Pemilu Kada Flores Timur 2024.

Salam Gelekat. Salus populi suprema lex (politik untuk kesejahteraan rakyat)

Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya akan dijelaskan dan diurakan pada tulisan seri (Bersambung)

DR. Keron A. Petrus, SE, MA adalah mantan Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Daerah (BPSDMD) NTT

Komentar ANDA?

  • Bagikan