Memaknai Gagasan 

  • Bagikan
Marsel Tupen Masan //Foto: Delegasi.com(Dok. Pribadi)

“Dalam kehidupan politik, dikenal dua macam aliran, yaitu aliran elitis dan aliran populis. Aliran elitis biasanya memandang bahwa segala sesuatu harus ditentukan oleh elite. Dalam praktek, politik populis selalu ditolak dan tidak disukai oleh aliran elitis, dengan tetap berpendirian bahwa segala sesuatu harus dimulai dan diselesaikan dari pusat. Apapun yang dilakukan, diyakini yang paling benar,”

Marsel Tupen Masan

 

DELEGASI.COM – Sebuah gagasan atau ide, seringkali dianalogikan sebagai suatu organisme biologis.

Kehadirannya melalui sebuah proses panjang, mulai dari lahir, tumbuh, hidup dan berkembang, serta juga mati.

Gagasan tentang mendirikan provinsi Flores yang sudah 20 tahun digagas, sampai provinsi Lamaholat misalnya, mestinya melalui proses seperti itu.

Akan tetapi ketika gagasan ini bergulir dengan memberi kesan seolah sudah jadi karena kuatnya arus dari atas untuk provinsi Flores dan hadirnya arus media sosial untuk provinsi Lamaholot, banyak orang tersentak kaget.

Kredit ilustrasi Foto politik Populis (Cartoon Movement)

Ada sikap skeptis, karena segala sesuatu yang dimulai dari atas, terkesan sangat sentralistis dan merupakan kemauan elite.

Gaya elitis, menggambarkan kelatahan para elite kita untuk memanfaatkan momentum perubahan dan ruang euforia otonomi daerah guna mempertahankan sikap elitisnya dengan mengabaikan lapisan bawah. Apalagi jelang hajatan politik pemilu dan pilkada.

Kemauan elite

Dalam kehidupan politik, dikenal dua macam aliran, yaitu aliran elitis dan aliran populis. Aliran elitis biasanya memandang bahwa segala sesuatu harus ditentukan oleh elite.

Lapisan bawah hanyalah sarana untuk melaksanakannya, oleh karena mereka tidak dapat berpikir dan terlalu malas untuk berpikir, sehingga hanya menurut jika digerakkan.

Berbagi Kursi Kekuasaan di Elit Politik. (Ilustrasi)

Dalam praktek, dasar yang digunakan untuk menggagaskan sesuatu adalah kepentingan para elite itu sendiri.

Sedangkan aliran populis selalu mempunyai anggapan dasar atau aksioma, bahwa lapisan bawah harus diperhitungkan dan menjadi bagian dari sebuah ide atau gagasan.

Oleh karena tanpa keterlibatan lapisan ini, sesuatu yang digagaskan tidak representatif dan tidak mengakomodir berbagai kepentingan yang ada di masyarakat.

Keberhasilannya juga sulit dicapai

Aliran ini menurut Sodjita Sosrodihardjo, biasanya bekerja dengan pola makan “bubur panas”. Mulai dari pinggir yang sudah dingin dan sedikit-sedikit bergerak ke tengah.

Namun dalam praktek, politik populis ini selalu ditolak dan tidak disukai oleh aliran elitis, dengan tetap berpendirian bahwa segala sesuatu harus dimulai dan diselesaikan dari pusat. Apapun yang dilakukan, diyakini yang paling benar.

Anggapan demikian, memang sudah biasa kalau semua kita hidup dibawah tahun 1950-an. Oleh karena pada saat itu tabiat rakyat hanya terbentuk untuk menerima atau menunggu.

Akan tetapi ketika semuanya sudah berubah dan segala sesuatu yang dari atas telah menjadi momok, maka gagasan sepihak sebagaimana gagasan mendirikan provinsi Flores dan provinsi Lamaholot akan memunculkan kegalauan di kalangan bawah.

Pertama, semua kita memang menghargai gagasan duapuluhtahunan mendirikan provinsi Flores. Tetapi kalau gagasan itu dikembangkan dengan membangun opini secara otoriter dengan mengabaikan provinsi NTT, dimana pemerintah daerah (pemda dan DPRD) tidak berpikir tentang pemekaran daerah, maka sampai dengan hari ini belum bahkan tidak ada gagasan itu dikonkritkan dalam ruang pembangunan daerah. Maka rembesannya tetap saja mengingkari hak dasar rakyat di daerah.

Rakyat sebagai lapisan paling bawah tetap termarginalisasi.

Dengan demikian corak hubungan marginalis yang termanifestasi dalam tindakan negara terhadap rakyat yang telah terbongkar, kini malah beralih ke tangan-tangan tak kelihatan.

Dari kesan ini dapatlah dibenarkan bahwa skenario yang digunakan dalam memprovinsikan Flores benar-benar khas pola mobilisasi rakyat gaya orde baru dengan tetap mengabaikan partisipasi rakyat, baik langsung maupun tidak langsung.

Kedua, dengan gamblang kita melihat bahwa para elite kita juga menggags mendirikan provinsi Lamaholot. Ini juga menandakan bahwa elite kita sebagai penggagas, belum mampu atau dengan sengaja tidak mau membangun kontrak sosial dengan lapisan bawah masyarakat. Tentunya dengan keyakinan bahwa lapisan bawah tidak bisa berpikir sebagaimana yang mereka pikirkan. Subyektifitas pikiran ini dengan serta merta memberi kesan adanya arogansi elite untuk mempertahankan gengsi dan kekuasaan. Jika gengsi dan kekuasaan yang membatini hati kecil kita, maka sangat naïf gagasan yang lahir bisa tumbuh, hidup dan berkembang jadi.

Ironi gagasan

Secara historis, pengembangan wilayah pemerintahan dalam sebuah negara atau provinsi, dilakukan dengan pertimbangan mendasar, bahwa wilayah pelayanan pada daerah tersebut terlalu luas, sehingga jangkauan pelayanan perlu didekatkan atau dipadatkan. Intinya, pemekaran wilayah pemerintahan dilakukan untuk mendekatkan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat, membuka peluang baru bagi pemberdayaan masyarakat dan peningkatan intensitas pembangunan untuk kesejatrean rakyat.

Berkaitan dengan itu, pengembangan wilayah selalu didasarkan pada pertimbangan:

Pertama, wilayah pemerintahan yang dikembangkan harus selaran dengan konsep-konsep lingkungan kerja yang ideal, dengan ukuran organisasi dan besarnya lembaga yang sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat.

Kedua, pengembangan wilayah pemerintahan hendaknya didasarkan ats prospek pengembangan ekonomi berdasarkan kewenangan-kewenangan yang ada atau diletakkan pada pemerintahan yang baru itu.

Ketiga, kebijakan pengembangan wilayah pemerintahan, seyogyanya memberi jaminan bahwa aparatur pemerintahan pada wilayah yang dibentuk, memiliki kemampuan yang memadai untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan dan mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan yang secara konsisten mendukung peningkatan kualitas pelayanan publik.

Kalau kita percaya bahwa pemerintahan dibentuk untuk menjaga suatu sistem ketertiban, dan pemerintah bertanggung jawab memberi pelayanan kepada masyarakat, maka dengan mudah kita menerima asumsi bahwa pemerintah yang baik adalah yang dekat kepada masyarakat.

Berarti Pemerintahan yang dekat kepada masyarakat adalah Pemerintahan Kabupaten/Kota, bukan pemerintahan provinsi. Dengan memiliki otonomi yang luas Kabupaten/Kota dapat memberikan pelayanan yang semakin baik dan sesuai dengan kondisi riil serta kebutuhan masyarakat.

Asumsinya pelayanan yang diberikan akan semakin cepat, hemat, murah, responsif, akomodatif, inovatif dan produktif. Sejalan dengan itu maka gagasan mendirikan provinsi baru di NTT sebagaimana dikehendaki para elite dengan menyandarkan kedekatan dengan pusat kekuasaan, dapat membalikkan logika penyelenggaraan otonomi daerah yang sesungguhnya.

Ironinya, dalam menggagas kedua provinsi ini, kita lebih terkontaminasi dengan cara pikir mendirikan provinsi baru, tanpa pernah berpikir menggagas pemekaran daerah, yang mulai dari kajian akademik, mengikuti mekanisme pembahasan melalui tata aturan dan prosedur keberpemerintahan.

Kita butuh kesadaran yang tulus untuk memulai gagasan dari tingkat paling bawah akan kehendak memprovinsikan diri, oleh karena lapisan bawah bukanlah papan catur pemaksaan kehendak elite politik yang tengah haus kekuasaan.

Rakyat lapisan bawah sesungguhnya telah menjadi majikan untuk cita-cita mereka sendiri. Seperti tidur nyaman dimalam hari, mudah membawa hasil buminya ke pasar, dan tidak takut berpergian kemana saja.

Oleh karena ia tidak memahami, untuk apa berprovinsi. Dengan demikian gagasan mendirikan dua propinsi baru di NTT yang disampaikan secara sepihak dengan mengatasnamankan rakyat, sudah bukan waktunya lagi.

Catatan akhir

Pengembangan wilayah pemerintahan sebagaimana keinginan untuk medirikan provinsi diperhadapkan pada pertanyaan: apakah wilayah dan organisasi pemerintahan provinsi NTT yang ada sekarang menunjukan suatu ruang wilayah dan struktur yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan kebutuhan pelayanan masyarakat yang ideal?

Keinginan yang bersifat elitis dengan mengabaikan lapisan bawah sudah tidak eranya lagi.

Apalagi pusat tidak lagi berperan sebagai pusat sabda yang feodalistik. Monopoli kebijakan tidak lagi berada di tangan elite tingkat atas.

Mari kita belajar untuk memulai dari bawah, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Karena merekalah yang mengetahui apa yang mereka inginkan dan apa yang ada pada mereka**

Dari ruang pengab tumpukan sampah Oepura

06 Januari 2023

Penulis adalah Pernah menjadi Ketua Pemuda Katolik Komda NTT

Komentar ANDA?

  • Bagikan