Membuka Tabir Ideologi Neo-Liberalisme

  • Bagikan

Oleh:  John Kaunang

Istilah Neo-liberalisme sebenarnya bersumber pada “Washington Consensus” yang terdiri atas sejumlah paket kebijaksanaan publik, berupa kesepakatan antara politikus Kongres, Badan Pemerintah, dan Bank Sentral USA, serta Lembaga Keuangan Internasional di USA mengenai cara pemulihan ekonomi di negara-sedang-berkembang setelah PD II berakhir. Pada dasarnya, paket kebijaksanaan publik tersebut merupakan upaya penyesuaian struktural yang ditekankan pada aspek makro-ekonomi dan keuangan yang lebih hati-hati, nilai tukar mata-uang yang lebih kompetitif, liberalisasi keuangan dan perdagangan, privatisasi, dan deregulasi. Di kemudian hari, John Williamson (1990) merumuskan secara lengkap dan sistematik isi dari “Washington Consensus” ke dalam 10 butir paket kebijaksanaan publik yaitu:

 

  1. Disiplin kebijaksanaan fiskal (penerimaan dan pengeluaran pemerintah).
  2. Pengalihan belanja subsidi, kecuali subsidi langsung pada belanja pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
  3. Reformasi pajak: memperluas basis pajak dan penurunan tingkat pajak.
  4. Suku-bunga bank ditentukan pasar dan positif secara riil.
  5. Nilai tukar mata-uang yang kompetitif.
  6. Liberalisasi perdagangan, terutama penghapusan lisensi dan penerapan tarif tunggal.
  7. Liberalisasi investasi langsung asing.
  8. Privatisasi BUMN.
  9. Deregulasi: penghapusan regulasi yang menghambat persaingan, kecuali untuk menjaga keamanan, lingkungan, perlindungan konsumen, dan pengawasan lembaga keuangan.
  10. Perlindungan hak milik (termasuk hak atas penggunaan tanah).

Namun, sepuluh paket kebijaksanaan publik di atas memiliki kelemahan yang fundamental yaitu mengabaikan aspek politik sehingga dalam perjalanannya justru semakin menenggelamkan krisis ekonomi di negara-sedang-berkembang ke jurang yang lebih dalam. Dengan kata lain, sebagaimana yang dikemukakan oleh Joseph E. Stiglitz yaitu: “Washington Consensus justru merupakan jalan menuju ke jurang kemiskinan” karena pemerintah samasekali tidak peduli terhadap rakyatnya yang miskin dan tidak-berdaya. Contoh paling jelas dan menarik tentang keburukan dari “Washington Consensus” itu adalah kejadian terpuruknya ekonomi di Negara Meksiko dan Argentina. Pokok permasalahannya adalah: pada tingkat implementasi, konsep reformasi ekonomi neo-liberalisme itu seringkali berhadapan dengan rintangan dan hambatan dari aspek politik. Sekurang-kurangnya, ada tiga jenis rintangan dan hambatan yang memalangi dari aspek politik, dan yang berpotensi-efektif menggagalkan reformasi ekonomi sebagaimana dimaksud. Pertama, kebijaksanaan tersebut menyentuh barang-barang publik yang selalu menimbulkan masalah karena munculnya kaum oportunist atau “penumpang gelap”, sehingga sangat mungkin menimbulkan tindakan kolektif yang tanpa persaingan lagi. Kedua, dalam pandangan model distributif, kebijaksanaan publik tersebut diasumsikan akan didukung oleh kelompok pemenang yang akan dilawan oleh kelompok yang kalah dalam persaingan, sehingga hasilnya sangat tergantung dari kekuatan politik yang mendukung koalisi/kolektivitas para pemenang. Ketiga, ada masalah klasik yang pasti muncul yaitu biaya akan terkonsentrasi pada satu kelompok tertentu sementara keuntungannya menyebar kepada banyak kelompok sehingga kadang-kadang tidak ada insentif untuk melaksanakan kebijaksanaan tersebut sesuai dengan harapan dan hakekat keberadaannya dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai sejak awal.

Bagaimana dengan negara kita ?! Silahkan mencocokkan kesepuluh butir kebijaksanaan publik yang dirumuskan oleh John Williamson tersebut di atas dengan fakta-fakta yang sedang berlangsung sebagai wujud dari kebijaksanaan publik oleh rezim sekarang yang sedang berkuasa.

 

Kupang, 1 Maret 2017

 

Komentar ANDA?

  • Bagikan