Tentang Dua Kekuatan Pemimpin

  • Bagikan

Kepercayaan masyarakat pada elit dan pemangku kepentingan kekuasaan nyaris hilang karena kerja buruk dan manipulasi busuk elit yang bersangkutan.  Elit memang gemar membangun jaringan. Masalahnya, jaringan yang dibangun itu dipakai sejauh memiliki dampak positif secara individu dan kelompok”

Oleh Lasarus Jehamat, Dosen Sosiologi Fisip Undana; Peneliti Institut Sophia Kupang

Delegasi.Com – Pertengahan September ini, saya berjalan di beberapa tempat di beberapa sudut Kota Kupang untuk satu dua keperluan.

Seperti biasa, orang-orang biasa seperti saya biasa duduk bercerita panjang lebar dengan banyak orang biasa lain tentang banyak hal mulai dari kondisi infrastruktur sampai ke soal layanan publik; dari harga bahan pokok hingga fenomena kuliner.

Dalam perjalanan itu, secara tak sengaja, saya bertemu dengan senior saya, Alex Funay, yang sedang berdiskusi bersama lima orang teman. Dalam obrolan tanpa ujung pangkal itu, seorang teman yang duduk di pojok ruangan bergumam interogatif.

Pertanyaannya terkait dengan kemampuan seorang teman di sebuah kampung yang bisa mendatangkan banyak anakan mangga hanya karena berteman dengan seorang juragan mangga di kabupaten tetangga.

Seorang teman lain menyambung sambil menceritakan pengalaman saat mengurus Surat Keputusan (SK) kenaikan pangkat ke golongan yang lebih tinggi. Karena syarat normatif, seseorang harus mengurus SK itu di pusat Jakarta.

Masalahnya, bepergian ke luar daerah saja lima tahun sekali. Apalagi harus ke Jakarta.

Teman ini beruntung karena memiliki teman di media sosial. Berkat pertemanan yang manis, bantuan pun datang dan teman yang berada di Jakarta itu mengurus SK tadi. Luar biasa kata mereka.  

Dengan sedikit tenang, Alex coba menjelaskan kehebatan dua orang itu. Kemudahan mendapatkan anakan mangga dan pembuatan surat keterangan disebabkan karena dua hal penting menurut Alex. Kekuatan jaringan dan strategi menjaga kepercayaan.

Dengan jaringan, apa pun kesulitan bisa diatasi. Dengan kekuatan jaringan, setiap masalah dan persoalan bisa diuraikan. Serius, tegas dan konsisten nampak di wajah Alex Funay.

Saya hanya diam. Diam karena saya baru pertama kali bertemu dengan orang yang sangat familiar di kota ini. Namanya sudah sering disebut memang.

Hanya, bawah diri yang rendah hati, tegas dan amat bersahabat baru terlihat pasti ketika bertemu langsung seperti ini.

Saya merenung. Setiap saat saya menulis dan coba memenuhi kertas dengan deretan huruf dan kata. Pernah juga menulis tentang jaringan seperti disampaikan Alex. Bahwa kekuatan jaringan bisa meruntuhkan tembok pemisah yang terasa sulit dilalui.

Jika pemimpin memiliki jaringan yang kuat di tingkat lokal, nasional dan internasional maka apa pun masalah yang muncul di tengah masyarakat yang dipimpinnya, pasti bisa diatasi.

Masalahnya adalah banyak pemimpin kita yang lemah dalam membangun jaringan dan kandas dalam berbagai bentuk diplomasi.

Bahwa banyak pemimpin yang memiliki jaringan sulit dibantah. Persoalannya adalah jaringan yang dibentuk dan dibangun itu sering dipakai untuk tujuan hitam di dunia gelap.

Jaringan yang ada sering dipakai untuk tujuan negatif ketimbang dimanfaatkan untuk tujuan positif.

Di situ kita harus mendiskusikan pemimpin berjaringan dan yang bisa menjaga trust seperti yang disampaikan Alex Funay.

Sebab utamanya, selain muncul pendapat brilian dari seorang pengusaha yang juga politisi, jaringan dan trust memang kehilangan tempatnya di negara dan di kota ini.  

Dua Kekuatan

Joseph Stiglitz, Sang Peraih Hadiah Nobel Ekonomi tahun 2012 pernah mengatakan bahwa saat ini, yang berkuasa adalah mereka yang memiliki jaringan. Stiglitz benar.

Setiap yang memiliki jaringan dan yang teguh menjaga trust (saling percaya) maka dalam dirinya memiliki kekuatan penuh. Dan karena kekuatan itulah maka dia berkuasa.

Masalahnya adalah apakah kita sadar akan urgensi dua kekuatan itu? Di level itu, kita mesti memeriksa dan membaca realitas jaringan dan keutamaan trust di ruang sosial kita.

Di titik yang lain, kita harus membedah kekuatan jaringan di ruang politik kita. Sebab, trusting hampir-hampir hilang dari ruang sosial kita.

Jaringan lebih sering dipakai untuk tujuan negatif ketimbang membangun dan membentuk kekuatan positif.

Dalam langgam yang sama, oleh masyarakat, politik lebih sering dipahami sebagai seni untuk menipu ketimbang kemampuan untuk merumuskan berbagai strategi kebijakan demi kesejahteraan bersama.

Kepercayaan masyarakat pada elit dan pemangku kepentingan kekuasaan nyaris hilang karena kerja buruk dan manipulasi busuk elit yang bersangkutan.

Elit memang gemar membangun jaringan. Masalahnya, jaringan yang dibangun itu dipakai sejauh memiliki dampak positif secara individu dan kelompok.

Hemat saya, dua kekuatan itu (jaringan dan trust) memang ada di Indonesia dan di NTT termasuk Kota Kupang. Masalah dasar di sini adalah jaringan dan mekanisme saling percaya sering dipakai di ruang pengab dan di kamar gelap.

Dua kekuatan itu sering dipakai untuk tujuan-tujuan busuk para pengambil kebijakan. Di sana, korupsi, kolusi dan nepotisme serta berbagai penyakit kronis birokrasi tumbuh subur.

Konteks Kota Kupang

Tahun depan Indonesia akan merayakan pesta demokrasi Pemilihan Presiden dan Wakil Preside.

Bersamaan dengan itu, wakil rakyat pun dipilih April 2019. Tiga tahun lagi Kota Kupang akan melaksanakan hajatan politik Pemilukada.

Ukuran seorang pemimpin telah dan akan dirumuskan oleh pemangku kepentingan di berbagai level. Beberapa syarat seperti pemimpin berintegritas, konsisten, berani, dekat dengan rakyat dan lain-lain telah diketahui banyak pihak.

Demikian pun, beberapa kriteria dasar dari seorang individu baik dari aspek administrasi maupun organisasional jelas sudah ditetapkan. Itu bisa disebut sebagai syarat formal.

Masalahnya adalah kita tidak pernah merumuskan syarat informal dan nonformal untuk pemimpin dan calon pemimpin kita.

Diskusi saya, Alex dan lima orang teman dalam pemaparan awal tulisan ini kental menunjukan bahwa selain syarat formal seperti yang telah ditetapkan UU, yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah pemimpin yang memiliki kekuatan jaringan dan bisa menjaga kepercayaan.

Begitu banyak informasi datang dari teman-teman di pusat. Semua mengatakan bahwa dari segi kuantitas, uang dan dana terlampau banyak di Jakarta.

Persoalannya adalah apakah elit kekuasaan di level lokal memiliki jaringan ke pusat secara nonformal agar bisa mendapatkan uang atau dana itu? Itu soal.

Kota Kupang berada dalam bentangan soal itu. Walikota, Jefri R Kore dan Wakil Walikota Herman Man memang belum setengah perjalanan.

Meski demikian, harus diakui, pembangunan dan beberapa aktivitas birokrasi dan layanan publik di kota ini laik diperiksa. Walikota dan wakilnya memang baru dua tahun memimpin.

Diperiksa tidak harus karena kesalahan. Diperiksa dalam pengertian mengontrol kerja walikota dan wakil berikut pimpinan OKP.

Isu dan gosip terkait mandeknya pembangunan di kota ini sulit dibendung. Inilah ujian buat Walikota dan Wakil Walikota Kupang.

Realitas mampetnya pembangunan di sini jelas bukan karena pemimpinnya tidak cakap; bukan karena pemimpinnya bodoh. Mereka cerdas.

Lalu siapa yang harus diperiksa? Bisa saja pimpinan OKP dan atau yang lainnya. Tetapi kontrol dan komando walikota mesti pula diteliti.

Terkait dengan jaringan, ketakutan saya, bisa saja jajaran birokrasi Kota Kupang  memiliki jaringan,  tetapi jaringan itu dipakai untuk tujuan negatif dan individu pemimpin yang bersangkutan. Karena itu, yang nampak ialah jaringan pemimpin.

Jaringan pemimpin adalah jaringan yang sering digunakan oleh pemimpin dan elit kekuasaan untuk mendapatkan uang dan berbagai kemudahan. Perkara penggunaan jaringan untuk tujuan bersama menjadi tidak pernah dipikirkan.

Untuk konteks Kota Kupan atau daerah lainnya di NTT, realitas menguatnya jaringan pemimpin  tersebut (ketimbang pemimpin berjaringan) menuntut adanya perubahan pola pikir masyarakat untuk memilih pemimpin dengan kadar kekuatan jaringan yang mumpuni.

Dengan kata lain, selain syarat formal, yang dibutuhkan oleh masyarakat Kota Kupang adalah pemimpin yang memiliki jaringan yang luas secara horizontal dan terutama vertical seperti disebutkan Alex.

Untuk tujuan Pemilukada tiga tahun lagi, masyarakat kota dituntut menilai para bakal calon itu secara obyektif. Mereka yang namanya beredar tentu memiliki kapasitas. Hampir semuanya pintar meski beberapa di antaranya tergolong belum cerdas.

Kalau pun tingkat kecerdasan semua bakal calon itu berada di atas rata-rata, satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah syarat kekuatan jaringan dan kemampuan menjaga trust.

Pemimpin yang berjaringan adalah pemimpin yang memiliki cukup kekuatan untuk bisa menembus kuatnya tembok birokrasi di pusat secara vertikal dan dapat membangun trust di level sosial horizontal. Di situ, kecerdasan masyarakat kota diuji.

Kriteria pemimpin seperti disampaikan Alex Funay hemat saya perlu dipikirkan oleh masyarakat kota ini. Atau, dalam bayangan saya, kalau Alex bisa dipercaya masyarakat, kota ini bisa belajar membangun jaringan dan mengurai kepercayaan yang sedang lemah lunglai di sini.

Kita harus memilih leader dan bukan dealer. Itu saja tujuannya. //delegasi(*)

Komentar ANDA?

  • Bagikan